Hadits 2 - Kitab Thaharah - Bab Menghilangkan Najis - TRIK1804 --> -->

Hadits 2 - Kitab Thaharah - Bab Menghilangkan Najis

Post a Comment

وَعَنْهُ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ، أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَبَا طَلْحَةَ، فَنَادَى إنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ، فَإِنَّهَا رِجْسٌ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dan darinya (Anas bin Malik) ia berkata, “Pada waktu terjadi perang Khaibar, Rasulullah SAW menyuruh Abu Thalhah menyerukan, ‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian makan daging keledai negeri (piaraan), karena sesungguhnya dia itu najis.” (Muttafaq alaih)

[Shahih: Al Bukhari 2991, Muslim 1802]

Tafsir Hadits

Hadits Anas dalam Shahih Al Bukhari,

«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ: أَكَلْت الْحُمُرَ، ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ: أَكَلْت الْحُمُرَ، ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ: أَفْنَيْت الْحُمُرَ، فَأَمَرَ مُنَادِيًا يُنَادِي: إنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ، فَأُكْفِئَتْ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِالْحُمُرِ»

“Bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata, ‘Keledai telah dimakan’, kemudian datang yang lainnya dan berkata, ‘Keledai telah dimakan’, kemudian datang yang lainnya lagi lalu berkata, ‘Keledai telah musna’. Maka Rasulullah SAW memerintahkan seseorang agar menyerukan, ‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian makan daging keledai negeri (piaraan) karena sesungguhnya dia najis.’ Maka panci-pancipun dibalikkan dalam keadaan sedang mendidih dengan daging’.”

[Shahih: Al Bukhari 4199]

Larangan dari daging keledai negeri (piaraan) ditegaskan dalam hadits dari Ali RA, Ibnu Umar, Jabir bin Abdullah, Ibnu Abi Aufa, al Barra, Abu Tsalabah, Abu Hurairah RA, Irbadh bin Sariyah, Khalid bin Al Walid, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Miqdam bin Ma’dikarib dan Ibnu Abbas, semuanya ditegaskan dalam buku-buku induk Islam. Dan telah disebutkan para perawinya dalam Asy Syarh.

Hadits tersebut menunjukkan haramnya daging keledai negeri (piaraan). Keharamannya adalah pendapat jumhur shahabat, tabiin dan para ulama setelah mereka berdasarkan dalil-dalil di atas.

Sedang Ibnu Abbas berpendapat bahwa daging keledai piaraan tidak haram, disebutkan dalam Shahih Al Bukhari hadits darinya:

لَا أَدْرِي أَنَهَى عَنْهَا مِنْ أَجْلِ أَنَّهَا كَانَتْ حَمُولَةَ النَّاسِ أَوْ حُرِّمَتْ؟

‘Aku tidak tahu apakah ia dilarang karena digunakan untuk mengangkut beban manusia ataukah diharamkan?’

[Shahih: Al Bukhari 4198]

Tidak diragukan lagi kelemahan pendapat ini, karena asal setiap larangan adalah menunjukkan keharaman meskipun kita tidak mengetahui Illatnya.

Ibnu Abbas berdalil dengan firman Allah SWT:

 قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan (QS. Al-An'am [6]: 145),

Karena dia membacanya sebagai jawaban atas orang yang bertanya kepadanya tentang keharamannya, dan berdasarkan hadits Abu Daud, bahwa Ghalib bin Abjar datang kepada Rasulullah SAW lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah SAW, kami telah ditimpa paceklik, aku tidak memiliki harta untuk memberi makan keluargaku kecuali samin dan keledai, dan sesungguhnya engkau telah mengharamkan daging keledai negeri (piaraan), maka beliau SAW menjawab:

أَطْعِمْ أَهْلَكَ مِنْ سَمِينِ حُمُرِك فَإِنَّمَا حَرَّمْتهَا مِنْ أَجْلِ جَوَّالِ الْقَرْيَةِ

“Berilah makan keluargamu dari samin dan keledaimu, karena sesungguhnya aku mengharamkannya lantaran ia memakan kotoran di kampung.”

[Isnadnya Dhaif: Dhaif Abu Daud 3809]

Maksudnya yang memakan al Jullah, yaitu kotoran.

Pendapat tersebut dapat dijawab bahwa ayat di atas dikhususkan keumumannya oleh hadits-hadits shahih yang telah lalu, dan bahwa hadits Abu Daud mudhtharib banyak diperdebatkan. Dalam As-Sunan [Al Kubro 9/332 -ed], setelah menyebutkan haditsnya, Al Baihaqi berkata, “Sanadnya diperdebatkan.” Ia berkata, “Hadits yang sepertinya tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih dan jika shahih dapat mengandung makna memakannya ketika darurat, sebagaimana yang ditunjukkan perkataannya, ‘kami telah ditimpa paceklik’, yaitu penderitaan.

Saya katakan, “Adapun alasan bahwa hal itu diperbolehkan ketika darurat, maka tidak sesuai dengan penjelasan sabda beliau, ‘aku mengharamkannya lantaran ia memakan kotoran di kampung’,  karena sesungguhnya beliau SAW membolehkan makan daging keledai, dan jika tidak makan kotoran maka hukumnya halal secara mutlak, sehingga tidak sempurna beralasan dengan darurat.

Penulis menyebutkan kedua hadits ini dalam bab najis, pengulangannya menunjukkan bahwa pengharaman sesuatu lazimnya karena najis, ini adalah pendapat mayoritas. Terjadi perbedaan pendapat padanya. Sedangkan yang benar adalah bahwa pada dasarnya semua benda itu suci dan pengharaman tidaklah selamanya karena najis, sebab ganja itu haram tetapi suci zatnya. Demikian pula segala macam bentuk yang memabukkan dan racun mematikan, tidak ada dalil mengenai kenajisannya.

Adapun najis, selamanya disertai dengan keharaman, maka setiap najis haram dan tidak demikian sebaliknya. Hal itu karena hukum pada setiap najis adalah larangan menyentuhnya dalam kondisi bagaimanapun, dan hukum mengenai kenajisan zat bendanya merupakan hukum atas keharamannya. Berbeda dengan hukum yang haram, sebab diharamkan memakai sutera dan emas sedangkan keduanya suci sebagai ketetapan syariat dan ijma.

Jika hal ini telah Anda ketahui, maka pengharaman arak dan keledai negeri (piaraan) yang telah disebutkan oleh nash-nash tidak berarti bahwa itu najis, tetapi harus ada dalil lain atasnya, jika tidak, maka kita tetap pada hukum asal yang telah disepakati yaitu suci, maka siapa yang mengklaim selainnya, hendaklah ia mendatangkan dalil.

Demikian pula kami katakan, “Tidak perlu penulis menyebutkan hadits Amru bin Kharijah untuk dijadikan dalil atas sucinya air liur hewan kendaraan.” Adapun mengenai bangkai, maka seandainya tidak diriwayatkan hadits, ’Menyamak kulit menjadikannya suci’ dan hadits ’Kulit apa saja yang disamak maka sungguh ia telah suci’ niscaya kami berpendapat bahwa ia suci, karena yang disebutkan dalam Al Qur'an adalah keharaman memakannya, akan tetapi kami menghukuminya najis karena tidak ada dalil selain dalil keharamannya.

Admin
Saya Zeni Nasrul, lahir di Bandung 05 Mei 1986. Puisi adalah bacaan yang menarik bagi saya, karena puisi dapat menghantarkan dari imaginasi yang tinggi untuk menyampaikan apapun yang terjadi dan terlihat di ukir dengan rangkaian kata yang dalam, sehingga dapat membawa pembacanya kedalam lubuk hati yang terdalam.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter