Gambar : madaninews.id |
1. PERIODE MEKKAH
Nabi Muhammad SAW yang agung, sejak dilantik menjadi rasul hingga wafat, hidup selama 23 tahun hijriyah6. Selama 13 tahun berjuang di Mekkah dengan segala upaya intensif membawa misi dan petunjuk kebenaran dari Tuhan kepada suatu kaum yang secara apriori7 telah memutuskan untuk menolaknya, berhubung tradisi intelektual yang mereka miliki tidak dapat menerima sesuatu yang dinamakan risalah atau kenabian ataupun agama dari Tuhan. Seluruh pemikiran mereka hanya berkisar pada sukuisme. Dunia mereka adalah status sosial dan bagaimana memperoleh keuntungan materi sebanyak-banyaknya.
Abu Jahal meninggal dunia dalam keyakinan sepenuhnya bahwa masalah kenabian hanyalah suatu tipu daya Bani Hasyim - Abdul Mutthalib (anak cucu Hasyim dan Abdul Mutthalib) untuk mengembalikan kepemimpinan leluhur mereka yang hilang bersama perginya Abdul Mutthalib. Kepemimpinan kini sedang berada di pihaknya. Ia dan golongannya telah bersusah payah memperoleh kekuasaan tersebut, walaupun dengan cara menumpuk kekayaan tanpa menghiraukan batas-batas moral yang telah dicanangkan Abdul Mutthalib sejak dahulu. Tidak heran jika untuk tujuan itu mereka melakukan pemaksaan, pemalsuan, penipuan, dan mempermainkan jadwal pembayaran utang-piutang. Akibatnya, tiada lagi tempat bagi pedagang kecil di Mekkah.
Suatu ketika Muhammad merasa berkewajiban menegur Abu Jahal menyusul perlakuannya mengambil hak seorang pedagang kecil dengan cara paksa. Karena merasa segan, Abu Jahal kemudian mengembalikan hak sang pedagang.
Perlu diketahui
bahwa penampilan Muhmmad di samping keramahan dan kasih-sayangnya serta tidak
senang kepada kekerasan, beliau juga bertubuh kekar dengan perawakan tegas dan
penuh wibawa yang menimbulkan rasa segan pada diri kawan dan lawan.
Sebenarnya, penolakan
para pemimpin Qureisy terhadap Islam tidak disebabkan oleh karena mereka benci
agama atau tidak senang kepada kebenaran tetapi karena mereka adalah elit
masyarakat yang sedang menikmati segala keistimewaan yang ada.
Meskipun masyarakat mengarah kepada kehancuran, namun mereka bahagia dengan kondisi yang ada, sedangkan Islam menawarkan perubahan secara radikal. Dalam konteks ini kita dapat mengerti sikap mental Abu Jahal. Ia tidak sebodoh dan sebrutal yang dibayangkan sementara orang, sebab Rasulullah bercita-cita kiranya Islam diperkuat oleh satu diantara tokoh-tokoh kuat pada saat itu; yakni Umar ibn Khattab, Abul Hakam Amr ibn Hisyam atau Abu Jahal. Bagaimana Rasulullah berpandangan demikian seandainya Abu Jahal bukan tokoh yang diperhitungkan?
Persoalannya adalah bahwa ia dan kelompok penentang dakwah Islam tidak menginginkan adanya perubahan. Status quo yang mereka pertahankan adalah realitas yang mereka sudah kenal. Sementara dakwah Islam, bagi mereka, masih berupa bayang-bayang dan memerlukan petualangan. Karena itu kendatipun kepentingan dan kecenderungan mereka berbeda-beda, namun sama dalam sikap mental yang menolak dakwah secara totaliter dengan sikap arogansi dan kekerasan.
Golongan penentang dapat dibagi ke dalam dua
bagian:
Pertama, generasi muda yang seumur dan sebaya dengan Muhammad, termasuk pamannya Abdul 'Uzzay ibn Abdul Mutthalib, yakni Abu Lahab, dan Abul Hakam 'Amr ibn Hisyam, yakni Abu Jahal, al-Harits ibn Qeladah, 'Uqbah ibn Abi Mu'ith serta al-Aswad ibn Abdu Yaguth. Mereka dikenal orang-orang yang paling membenci Muhammad hanya karena irihati dan dengki ditambah pula kekhawatiran bahwa dengan alasan kenabian mereka lantas dipimpin Muhammad.
Prilaku mereka yang cenderung menggunakan kekerasan penuh kebencian adalah akibat dari sikap mental tersebut. Termasuk dalam golongan ini juga Dhirar ibn Khattab, penyair terkenal kala itu, Suheil ibn 'Amr, tokoh yang akan memimpin dialog dengan Rasulullah pada pertemuan Hudeibiyah dan Sufyan ibn Harits yang masih mempunyai hubungan famili dengan Muhammad dan teman sejawat sejak kecil. Namun ketika Muhammad dilantik menjadi Nabi, rasa cemburu dan irihati merasuk jiwanya sehingga menjadi lawan dan penentang paling keras.
Kedua, golongan pemimpin-pemimpin para suku Arab yang telah lama bersaing dengan Bani Hasyim dan al-Mutthalib. Mereka menolak dakwah Islam karena Islam merupakan ancaman bagi status sosial dan sumber kekayaan mereka. Dapat dicatat tokoh-tokoh yang menonjol seperti al- Walid ibn Mugirah dan 'Utbah ibn Rabi'a yang pernah diutus oleh golongan penentang menemui Rasulullah dan pamannya Abu Thalib setelah gerakan Abu Jahal gagal membendung dakwah Islam dengan kekerasan, karena ternyata cara kekerasan malah menambah banyak pengikut Muhammad dan menambah kuat pendirian mereka.
Oleh karena faktor umur yang relatif lebih tua, mereka ini memperlihatkan sikap penolakan yang lebih lunak yaitu dengan menempuh cara dialog; baik dengan Muhammad secara langsung maupun melalui pamannya.
Tercatat empat
kali pertemuan dialog diadakan yang semuanya mengalami jalan buntu. Masing-
masing bertahan dalam pendirian. Abu Thalib tetap dalam sikapnya melindungi dan
mendukung Muhammad, sekalipun di pihak lain ia mengusulkan agar Rasulullah
mengurangi propaganda provokatifnya terhadap Tuhan-Tuhan Qureisy dan mengurangi
intensitas kritiknya terhadap sistim kehidupan masyarakat, tetapi Muhammad
tetap pada pendiriannya.
Dengan demikian, para penentang; baik yang tua maupun yang muda sama-sama telah menabur kebencian, kekerasan dan teror menghadapi dakwah Islam. Segala cara ditempuh demi menjauhkan orang-orang dari Islam. Rasulullah terpaksa mengajak pengikutnya berhijrah ke al- Habasyah (kini Etopia). Ironisnya, Islam tetap berkembang terutama setelah Umar ibn Khattab bergabung kedalam pengikut Muhammad.
Pada akhirnya, golongan penentang menemukan suatu cara yang menurut mereka lebih efektif membendung gerak maju dakwah Islam. Yaitu dengan menyebarkan isu-isu bahwa Muhammad adalah tukang sihir yang memiliki daya hipnotis tinggi, membuat orang-orang mendukung dan mengikuti keinginannya.
Hal itu mereka lakukan sebagai upaya pesimistis, setelah kurang lebih sepuluh tahun berkecamuk perlawanan buta terhadap Islam tanpa menghasilkan apapun yang berarti.
Yang menarik
dalam hal ini adalah bahwa walaupun bermacam-macam halangan dan rintangan yang
dihadapi, dan meskipun benteng kebencian dan perlawanan demikian kuatnya, serta
kendatipun pelbagai kegiatan teror dan siksaan menimpa Muhammad dan para
pengikutnya, namun sepanjang periode tersebut beliau tidak pernah -walau
sekalipun- kehilangan daya kontrol; baik dalam perkataan maupun perbuatan. Sama
sekali tidak pernah kehilangan kesabaran, tidak pula sedikit pun rasa putus asa
menyentuh jiwanya. Suatu sikap perjuangan yang perlu kita pedomani pada diri
Rasulullah SAW.
Para penulis Sirah yang berwawasan emosional keagamaan dengan penuh semangat menguraikan dan merinci cara-cara perlawanan kaum musyrik sementara menanamkan kesan bahwa Allah jua yang memelihara Rasulullah dari segala perbuatan keji yang dapat mencelakakan beliau, dan bahwa Allah yang menjamin beliau akan berhasil dalam misinya. Mereka tidak menyadari bahwa pandangan demikian itu mengurangi nilai jerih payah dan usaha Rasulullah menghadapi lawannya. Sejauh mana ketauladanan beliau yang penuh ketabahan mengemban tugas.
Sirah adalah wahana pendidikan. Kita mempelajarinya dengan tujuan supaya dapat mengikuti jejak Rasulullah dalam akhlak dan prilaku, dalam bersikap dan bertindak. Beliau sebagai suri- tauladan dengan sengaja diperhadapkan kepada berbagai tantangan, cobaan dan perlakuan yang menyakitkan agar setiap pengikutnya menyadari bahwa semua itu adalah bagian dari perjuangan hidup setiap muslim yang jujur memperjuangkan agama.
Dalam perjuangan, nyata diperlukan akhlak yang tinggi, prilaku yang sehat serta tindakan yang arif. Semuanya telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Sunnah Rasul ialah segenap jejak Rasulullah; baik ungkapan, perbuatan maupun ketentuan- ketentuannya. Perjuangan Rasulullah pada periode Mekkah banyak memberikan ketauladanan dalam mengemban tugas perjuangan, antara lain ketetapan iman, tegak di atas kebenaran, menghadapi dunia manusia dengan penuh pengertian, mengontrol diri dalam cobaan, memelihara ucapan dan menggunakan pikiran. Semua itu adalah Sunnah Rasul. Barangsiapa yang mengabaikannya lalu membiarkan dirinya terbawa arus emosi, kemudian lepas kontrol dalam perkataan dan perbuatan di saat-saat bergelut dan berdebat, maka ia telah menyalahi sunnah karena sunnah adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipilah-pilah.
Jika hal itu
wajib bagi setiap muslim maka lebih wajib lagi bagi para penguasa. Dapat
dibayangkan bagaimana prikeadaan kaum muslim seandainya pemahaman terhadap
sunnah berdasarkan kepada cakrawala pandangan yang luas seperti ini.
Dan seandainya sunnah Nabi sudah menjadi bagian dari kepribadian umat Islam dan para penguasanya, tentu tidak akan pernah terjadi peristiwa-peristiwa mengerikan dalam sejarah umat Islam, seperti adanya rasa kebebasan menyiksa orang-orang, balas dendam dan pembantaian lawan politik atau rasa kebebasan memerangi jiwa, merampok harta dan melanggar kehormatan. Harus diyakini bahwa melakukan tindakan-tindakan brutal tersebut dapat menyebabkan seseorang keluar dari rel sunnah bahkan dari rel Islam.
Adalah tepat bahwa Allah menjamin keberhasilan risalah-Nya, namun mempercayakannya kepada Muhammad dan membiarkannya mengarungi perjuangan di dunia manusia dengan cara- cara manusiawi.
Maka kehidupan Muhammad, di samping indah juga pada waktu yang sama merupakan simbol keagungan dan bahan pelajaran bagi setiap muslim sepanjang masa. Beliau mengajarkan bagaimana memelihara prinsip agar tidak tergoyahkan oleh tantangan apapun, bagaimana menghadapi lawan dengan sikap sabar, tabah dan penuh lapang dada dan bagaimana meyakinkan orang-orang secara persuasif dengan argumentasi yang tepat serta bagaimana menghadapi tantangan dengan semangat iman yang dalam dan hati yang teguh.
Di dalam Al-Qur'an Allah menegaskan bahwa Dia menjadikan Rasul-Nya sebagai suri-tauladan dan Rasulullah telah menerapkan semua itu dengan sempurna. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar bersabda "Sesungguhnya tiadalah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia".
Sudah menjadi takdir Allah bahwa dalam perjuangannya, umat Islam akan menghadapi tantangan dan kondisi yang sama dengan yang dihadapi Rasulullah; dan untuk itu contoh dari kehidupan Rasulullah akan merupakan modal dasar bagi kesuksesan perjuangan mereka.
Jika ingin mencari jalan keluar bagi kondisi umat Islam yang demikian menyedihkan dewasa ini niscaya ada dalam Sirah Rasulullah. Tapi perlu membaca Sirah dari sumber aslinya, yaitu melalui sumber-sumber sejarah yang belum terjamah oleh pena para penulis yang menguraikan Sirah Nabi berdasarkan kecenderungan dan kepentingan masanya, seumpama Abdul Malik ibn Hisyam yang kami nilai memasukkan data-data sejarah yang tidak otentik kedalam uraian Sirah hanya untuk memuaskan kecenderungan intelektualnya.
Sumber-sumber yang asli dapat diperoleh dalam riwayat generasi pertama seperti 'Urwah ibn Zubeir, Abban ibn ‘Usman, Musa ibn ‘Uqba, 'Ubeid ibn Sharia kemudian Ibnu Ishaq, al- Baladzary, al-Waqidy, Ibnu Sa'd dan al-Ya'quby. Dapat digabungkan ke dalam kelompok mereka, Ibnu ‘Abd al-Bar dengan al-Isti'ab fi Ma'rifatis Shahabah-nya, yang meski hanya memuat sekelumit Sirah sebagai prolog, namun sarat dengan nilai ilmiah yang tidak terdapat pada karya-karya lain. Hal ini disebabkan karena Ibnu ‘Abd al-Bar, demikian juga Ibnu Hazm dan Ibnu Sidinnas semuanya menggunakan referensi asli.
Dengan membaca Sirah melalui sumber-sumber asli tersebut akan memberikan kemampuan mengenal siapa Muhammad dalam sorotan sinar memukau yang dapat menerangi derap langkah kita hari ini dan esok.
Telah
disinggung sebelumnya, bahwa pendekatan tradisional tidak melakukan klasifikasi
dan periodisasi tahap-tahap kehidupan Muhammad, tidak pula berupaya menjelaskan
motivasi yang melatar-belakangi setiap tahap dan targetnya. Padahal Sirah bukanlah sekedar uraian peristiwa-
peristiwa dalam kehidupan Nabi melainkan rangkaian episode yang setiap
tahap-tahapnya mengandung ajaran dan pelajaran.
Sudah barang tentu akan kehilangan rahasia di balik setiap periode jika tidak mampu menemukan motivasi dan dasar pemikirannya. Yang dimaksud, bukan periode-periode kehidupan Nabi yang sering kita dengar lewat khutbah Jum'at tradisional melainkan tahap-tahap yang dapat dijadikan percontohan bagi perjalanan umat Islam selanjutnya.
Motivasi dan dasar pemikiran setiap kebijakan Rasulullah merupakan pelita bagi umat Islam ke arah kesuksesan, kedamaian dan kesejahteraan.
Untuk mempertajam pandangan historis, mari kita mengamati garis keturunan Muhammad yang telah kita hafalkan luar kepala sejak kecil dan berkali-kali dikutip dari buku-buku sejarah. Tapi adakah kita menangkap satu pedoman?
Ada empat tokoh suku Qureisy yang sangat berperan dalam pembentukan kepribadian Muhammad dan dalam perkembangan kondisional masyarakat saat Islam pertama kali muncul. Mereka adalah pilar-pilar suku Qureisy:
·
Qushay ibn Kilab,
·
Abdu Manaf ibn Qushay,
·
Hasyim ibn Abdu Manaf
·
Abdul Mutthalib ibn Hasyim.
Qushay ibn Kilab adalah negarawan, politisi dan militer ulung yang memimpin suku Qureisy
ketika masih merupakan suku kecil yang berpindah-pindah tempat sebelum masuk ke
Kota Mekkah. Cukup lama waktu yang diperlukan untuk memisahkan diri dari suku
(induknya), Kinanah yang bermukim di
belahan utara semenanjung Arab Hijaz,
yang kemudian memilih pemukiman bertetangga dengan Bani 'Udzrah.
Dan dengan
menggunakan pengaruh dan kekuasaan pemimpin Bani
'Udzrah, Qushay mencanangkan suatu rencana pendudukan kota Mekkah dan
bilamana berhasil ia telah siap dengan sistim kemasyarakatan yang dapat
menjadikan Qureisy sebagai suku yang terkuat dengan kemampuan menjaga
stabilitas dan keamanan pusat-pusat perdagangan di kota Mekkah dan sekitarnya,
sehingga suku-suku yang bermukim di sekitar Tihamah
dan Hijaz dengan mudah dapat
diatur dan dikuasai.
Ini berarti Qushay adalah simbol transformasi sosial dalam bangsa Qureisy dari masyarakat nomadisme8 menjadi masyarakat urbanisme9 tanpa kehilangan ciri-ciri nomadisnya. Adalah transformasi seperti ini merupakan fenomena umum yang berlaku pada bangsa Arab sebelum Islam, sebab dengan sistim organisasi tribalisme yang mengandalkan solidaritas tribal (suku), segala aturan konstitusi berjalan baik dan menjamin keamanan dan ketentraman setiap anggota masyarakat. Karakteristik kesukuan inilah yang kesukuan inilah yang memungkinkan Qureisy menguasai semenanjung Arab dan peran tokoh-tokohnya pun akan terlihat kelak pada perkembangan dan ekspansi Islam.
Abdu Manaf ibn Qushay, seorang politisi dan diplomat yang berhasil membentuk ‘pakta konfiderasi’ dengan suku-suku yang bertebaran di sekitar kota Mekkah dan Hijaz terutama suku Khuza'ah. Ia juga berhasil menjalin kerjasama dengan bangsa al-Habasyah.
Dengan demikian
maka posisi Qureisy semakin kuat. Rasulullah sendiri banyak memperoleh faedah
dari adanya perjanjian-perjanjian kerjasama tersebut yang masih berlaku sampai
masa lahirnya Islam, terutama dengan Khuza'ah.
Hasyim ibn Abdu Manaf, seorang pengusaha dan pedagang sukses yang telah menopang perkembangan potensi-potensi perdagangan di kota Mekkah. Ia berhasil memperoleh beberapa kontrak perdagangan dengan suku-suku yang bermukim di sepanjang jalur perdagangan Mekkah seperti: - Syam - Yaman - Iraq dalam rangka mengamankan jalur perdagangan; baik di musim dingin maupun di musim panas.
Abdul Mutthalib ibn Hasyim, seorang agamawan yang berhasil menjadikan Ka'bah sebagai pusat peribadatan animisme Arab melalui suatu kebijakan meletakkan dan menggantungkan model-model sembahan setiap suku di dinding-dinding Ka'bah.
Mekkah pada akhirnya menjadi pusat kegiatan agama disamping pusat perdagangan. Keberhasilan Abdul Mutthalib mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan keagamaan di Mekkah semakin memperkuat posisi suku Qureisy dan menghantarkan Mekkah mencapai puncak kejayaannya pada masa pra Islam.
Kemajuan yang dicapai Mekkah, yang sudah menjadi negeri yang penuh dinamika, kaya, terbuka dan masyarakatnya hidup sejahtera, memberikan gambaran tentang kondisi dan kecenderungan masyarakat di mana Muhammad lahir dan tumbuh dewasa, yaitu pada saat menjelang akhir kepemimpinan Abdul Mutthalib.
Para penulis Sirah tradisional menggambarkan situasi masyarakat saat Muhammad dilahirkan dengan sangat menyedihkan. Pertumbuhan beliau sejak masa kanak-kanak hingga menginjak dewasa digambarkan sebagai anak yatim yang dirundung malang dan derita kemiskinan, semata- mata karena di dalam Al-Qur'an Allah berfirman: “Engkau (Muhammad) tersesat, maka Allah memberimu petunjuk; engkau serba kekurangan, maka Dia menjadikanmu berkecukupan”10.
Q.S. al-Dhuha:7-8. Padahal selama hidupnya, Rasulullah tidak pernah fakir dan tidak pernah miskin. Jadi, maksud ayat tersebut adalah bahwa beliau yatim sehingga diasuh oleh kakek kemudian pamannya. Ia akan tersesat jika bukan Allah yang menghindarkannya dari kesesatan dan segala macam bahaya, sebagai persiapan untuk mengemban tugas risalah. Beliau dianugerahi kekayaan melalui kegiatan berdagang kemudian diberi pangkat kenabian. Secara historis tidak ada bukti bahwa beliau fakir atau miskin.
Pada masa mudanya, sebelum nikah dengan Khadijah RA beliau adalah pedagang sukses dan hidup berkecukupan. Hal ini terlihat pada sikap Khadijah mempercayakan usaha dagangnya kepada beliau. Berkat kejujuran dan pengalamannya, beliau sukses berdagang dan kekayaannya semakin bertambah. Setelah berkeluarga tidak pernah mengandalkan kekayaan Khadijah, bahkan usahanya tetap berlangsung mengikuti cara pedagang-pedagang senior Mekkah.
Ungkapan-ungkapan Khadijah menenangkan beliau setelah menerima wahyu adalah bukti nyata mengenai hal ini. Khadijah berkata: "Demi Allah, Tuhan tidak akan pernah mengecewakanmu, engkau suka menolong kaum lemah dan kaum papa, memberi orang yang tak punya dan selalu berderma kepada orang yang tertimpa bencana". Ungkapan seperti itu adalah indikasi bahwa beliau adalah orang yang berkecukupan, sebab sekiranya hanya mengandalkan kekayaan Khadijah tentu yang tersebut terakhir tidak layak berkata demikian.
Para penulis Sirah tradisional tidak mampu
merenungkan makna yang terkandung di dalam ungkapan Khadijah tersebut. Tetapi
lebih ganjal lagi uraian Encyclopedia
Britanica yang menggambarkan Muhammad sebagai pemilik toko. Padahal, baik
sebelum maupun sesudah dilantik menjadi Nabi, Muhammad tidak pernah memiliki
toko, namun beliau termasuk pedagang senior kota Mekkah yang umumnya memiliki
gudang tempat menyimpan stok barang kemudian melakukan transaksi jual-beli;
baik di kediaman masing-masing atau di tempat-tempat tertentu di sekitar Ka'bah.
6 Dimulai sekitar tahun 622
7 Tidak mutlak namun kebanyakan
8 Suku yang berpindah-pindah tempat tinggalnya
9 Semi-modren perkotaan
Post a Comment
Post a Comment