Photo : persis.or.id |
Penulis:
KH. Dr. Jeje Jaenudin, M.Ag
Dari
seluruh syariat agama di bidang hukum muamalah, perkawinan adalah syariat yang
paling pertama dan utama. Karena manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, dan
keluarga adalah unsur terkecil dan terawal dari masyarakat. Sedang keluarga
tidak akan terbentuk tanpa ada pranata yang mengikatnya, pranata pengikat itu
tiada lain adalah perkawinan.
Bentuk
formil ikatan perkawinan bisa saja berubah sesuai dengan perubahan zaman dan
perubahan syariat yang dibawa para rasul. Tetapi esensi dari perkawinan
tetaplah sama, yaitu akad yang menyatukan dua insan yang berlain jenis kelamin untuk
hidup dalam satu rumah tangga secara sah, baik menurut norma agama ataupun
norma tradisi.
Syariat
Islam sebagai syariat terakhir yang diturunkan Allah kepada umat manusia telah
mengatur perkawinan dengan sangat sempurna. Dari mulai aturan mencari calon
pasangan, mengkhitbah, tatacara pelaksanaan akad, hingga aturan hak dan
kewajiban bagi pasangan keluarga dan segala masalah yang berhubungan dengannya.
Namunpun demikian, sebagaimana lazimnya masalah fikih senantiasa ada
aspek-aspek yang masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum
Islam (para fuqaha).
Karena
perkawinan tidak hanya terkait dengan aspek keabsahan menurut hukum syariat,
tetapi ia mempunyai implikasi yang luas dalam kehidupan sosial, maka seiring
dengan perkebangan zaman dan perubahan sosial, beberapa aspek perkawinanpun
mengalami perubahan dan perkembangan. Seperti adanya prosedur
administrasi perkawinan yang diatur oleh undang-undang negara; adanya alat
komunikasi yang dapat digunakan dalam akad nikah jarak jauh; adanya kemungkinan
penggunaan saksi elektronik; dan lain sebagainya.
Di antara
permasalah perkawinan yang masih menjadi pertanyaan masyarakat adalah tentang
perkawinan yang dilaksanakan secara diwakilkan. Yaitu bagaimana hukum
perkawinan yang akadnya diwakilkan dan tatacara cara pelaksanaannya jika itu
dibolehkan.
Di
Indonesia sendiri sebagai negeri muslim terbesar di dunia, perkawinan dianggap
sah dan diakui jika dilaksanakan berdasarkan hukum agama yang dianut
masyarakat. Selain itu diatur juga tata tertib administrasi perkawinan berdasar
Undang-Undang yang mengacu kepada hukum fikih Islam bagi penduduk muslim. Yaitu
diatur dalam Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang
ditetapkan oleh Impres Nomer 1 Tahun 1991.
Berdasarkan
hal hal di atas, paper ini akan menjelaskan secara sederhana tentang hukum akad
nikah yang diwakilkan berikut tatacaranya dengan mengacu kepada hukum Islam dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Pengertian
Perkawinan
والزواج شرعاً: عقد يتضمن إباحة الاستمتاع بالمرأة، بالوطء والمباشرة
والتقبيل والضم وغير ذلك، إذا كانت المرأة غير مَحْرم بنسب أو رضاع أو صهر. أوهو
عقد وضعه الشارع ليفيد ملك استمتاع الرجل بالمرأة، وحل استمتاع المرأة بالرجل.
Perkawinan
menurut syara’ : Akad yang mencakup penghalalan bersenang-senang dengan wanita,
dengan berjima’, bergaul, mencium, berpelukan dan lainnya, apabila wanita itu
bukan yang diharamkan dinikahi karena nasab, susuan, ataupun perbesanan. Atau
dia itu akad yang ditetapkan syariat agar memberi hak kepemilikan kepada lelaki
bersenang-senang dengan wanita dan menghalalkan bersenang-senangnya wanita
dengan laki-laki. [1]
Adapun
menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia, dikatakan, “Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan sebagai salah satu syariat
Islam yang dilaksanakan melalui Proses akad ijab qabul.” [2]
Rukun dan
Syarat Perkawinan.
Al-Quran
dan hadits Nabi tidak berbicara tentang rukun dan syarat secara eksplisit,
tetapi dari ayat-ayat dan hadits nabi dapat dipahami bahwa perkawinan hanya
bisa dilaksanakan apabila ada beberapa unsur dan prosedur yang harus dipenuhi.
Yaitu:
Ada dua
pihak yang akan melangsungkan perkawinan yang terdiri dari sepasang calon pengantin
laki-laki dan calon pengantin perempuan. Al-Quran mengatakan,
… فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ … [النساء: 3]
“Maka
kawinilah siapa yang kamu sukai dari kalangan perempuan-perempuan...” (An Nisa
: 3)
Yang
dimaksud “kamu” pada ayat di atas maksudnya adalah kaum lelaki, agar menikahi
kaum wanita yang disukainya.
1. Sepasang
calon itu hanya boleh melaksanakan perkawinan jika memenuhi syarat yang terkait
dengan aspek fisik, yaitu sudah baligh dan mampu untuk nikah; dan aspek psikis,
yaitu sehat dan normal jiwanya. Al Quran mengatakan,
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ
آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ…. [النساء: 6]
“Dan ujilah
anak-anak yatim itu sampai mereka mampu menikah (baligh). Jika kamu menilai
mereka sudah mempunyai kelayakan maka serahkanlah harta mereka..” (An Nisa: 6).
Laki-laki
yang mahu menikah juga harus mampu secara materi, yaitu kecukupan untuk
membiayai diri dan keluarganya. Allah firmankan,
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى
يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ … [النور: 33]
“Dan
hendaklah orang-orang yang belum mempunyai bekal untuk nikah bersabar sampai
Allah memberi kecukupan kepada mereka dari karunia-Nya… ”.
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر
وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء. (الجمع بين الصحيحين البخاري ومسلم :(1/ 110)
“Wahai
segenap pemuda, siapa yang sudah mampu untuk kawin, maka hendaklah kawin!
Karena sesunguhnya kawin itu lebih menundukan pandangan dan memelihara
kemaluan. Dan siapa saja yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa karena
puasa menjadi perisai baginya”. (Hadits Sahih Bukhar-Muslim)
2. Dalam
perkawinan harus ada penyerahan sesuatu yang berharga sebagai pemberian yang
tulus dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Al-quran mneyebutnya sebagai
shaduqat (Mahar).
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً [النساء: 4]
“Dan
berikanlah kepada kaum perempuan itu shaduqatnya sebagai pemberian yang
tulus..”
3.
Perkawinan juga harus memperhatikan calon pasangannya, karena tidak boleh
perkawinan dilaksanakan antara seorang laki-laki dengan wanita yang diharamkan
baik karena faktor beda agamanya, seperti dengan wanita musyrik (al Baqarah:
221); karena faktor hubungan darah seperti ibu (An Nisa: 22); anak
perempuan, saudara perempuan, keponakan, bibi, dst; karena faktor sesusuan atau
mempoligami dua perempuan yang bersaudara (An Nisa : 23)
4.
Perkawinan harus dilaksanakan melalui proses khitbah, lalu dengan akad melalui
perantaraan wali pihak calon pengantin perempuan dan laki-laki calon penganting
laki-laki.
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ
النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ
سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا
قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ
الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ
فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ [البقرة: 235]
Dan tidak
ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
5.
Perkawinan adalah peristiwa penting dan besar, maka wajib disaksikan oleh orang-orang
yang terpercaya dari kalangan kaum muslimin yaitu yang adil, jujur, dan amanah.
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا
الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا [الطلاق: 2]
Apabila
mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar.
Dalam Pasal
14 Kompilasi Hukum Islam dirumuskan mengenai Rukun Perkawinan meliputi (1)
Calon Suami; (2) Calon Isteri; (3) Wali nikah; (4) Dua orang saksi dan; (5)
Ijab dan Kabul.
Ijab
maksudnya adalah pernyataan penyerahan atau penetapan dari pihak wali calon
pengantin perempuan yang berhak mengikrarkan pernyataan penyerahan kepada
calon pengantin laki-laki. Sedang Qabul adalah pernyataan penerimaan atas
pernyataan penyerahan dari pihak wali pengantin perempuan.
Jika semua
persyaratan yang disebutkan di atas telah terpenuhi, barulah ijab kobul dapat
dilaksanakan. Dan dengan terlaksananya ijab qabul maka sahlah ikatan perkawinan
tersebut.
Mewakilkan
Akad Nikah
Sebagai
sebuah syariah muamalah, keabsahan perkawinan dibangun di atas prinsip-prinsip
akad dengan memperhatikan rukun dan syaratnya. Di antara prinsip akad
atau transaksi yang mengikat dua pihak yang berkepentingan, maka berlaku
padanya hukum perwakilan (al taukil) sebagaimana berlaku pada akad jual
beli, sewa menyewa, hibah, hadiah, dan lain sebagainya. Dan setiap akad wajib
ditunaikan sesuai dengan persyaratan-persayaratan yang disepakati. Al Quran
mengataka, “Wahai orang-orang beriman, tunaikanlah akad-akad kalin!” (Al
Maidah: 1). Sedang dalam hadits, Nabi menyatakan, “Kaum muslimin
berdasarkan persyaratan-persyaratan mereka”. (Riwayat Imam Malik, Abu Dawud,
Tirmidzi, Baihaqi, dan Al Hakim). Karena akad nikah itu terlaksana antara pihak
Wali pengantian perempuan dan pihak Calon pengentin laki-laki, maka perwakilan
dalam akad perkawinan bisa dari kedua belah pihak dan bisa dari salah satunya.
Yaitu perwakilan dari sisi wali atau perwakilan dari pihak calon suami.
Perwakilan
dari pihak Wali yaitu jika yang seharusnya menikahkan adalah orang yang paling
kuat dan dekat nasabnya kepada pengantin perempuan, yaitu bapak kandungnya,
kemudian kakeknya, kemudian pamannya dari pihak bapak, dan kemudian saudara
laki-lakinya sekandung. Boleh saja seorang ayah menyerahkan pelaksanaan akad
nikah putri kandungnya kepada saudaranya atau kepada petugas KUA, atau kepada
siapa saja yang dia pandang patut dan layak dijadikan orang yang mewakilinya.
Jika pihak wali dapat diwakilkan maka demikian pula halnya dengan pihak calon
suami dapat mewakilkan kepada orang lain dalam ia melaksanakan qabul
dalam akad nikah itu. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah di dalam Al
Mughny:
ويجوز التوكيل في عقد النكاح في الإيجاب والقبول ولأن النبي
صلى الله عليه و سلم وكل عمرو بن أمية وأبا رافع في قبول النكاح له ولأن الحاجة
تدعوا إليه فإنه ربما احتاج إلى التزويج من مكان بعيد لا يمكنه السفر إليه فإن
النبي صلى الله عليه و سلم تزوج أم حبيبة وهي يومئذ بأرض الحبشة
“Dan
dibolehkan mewakilkan dalam akad nikah dalam ijab dan qabulya, dan karena Nabi
SAW mewakilkan kepada Amr bin Umayat dan Abu Rafi’ dalam qabul nikah. Dan oleh
sebab kebutuhan (hajat) menuntutnya kepada perkawinan dari tempat yang jauh
yang tidak memungkinkah safar kepadanya. Maka sesungguhnya Nabi SAW. menikahi
Umu Habibah sedang Umu Habibah saat itu berada di Negeri Etopia”.
Hadits yang
dimaksud dalam pernyataan Ibnu Qudamah di atas adalah apa yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud, Imam Ahmad, dan An Nasai:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ
أُمِّ حَبِيبَةَ أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَ ابْنِ جَحْشٍ فَهَلَكَ عَنْهَا وَكَانَ
فِيمَنْ هَاجَرَ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ فَزَوَّجَهَا النَّجَاشِيُّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ عِنْدَهُمْ
“Menceritakan
kepada kami Muhammad bin Yahya bin Faris, menceritakan kepada kami Abdurrozzaq,
dari Ma’mar dari Zuhry dari Urwah bin Zubaer dari Ummu Habibah sesungguhnya
beliau dahulu adalah istrinya Ubaidilah bin Jahsy, kemudian ia meninggal ketika
ia di antara orang yang hijrah ke Habasyah, kemudian Raja Najasyi menikahkan
Ummu Habibah kepada Rasulullah, padahal Ummu Habibah masih bersama mereka (di
Habasyah)”
Ummu
Habibah adalah putrinya Abu Sufyan. Ia bersama suaminya, Ubaidilah bin Jahsy
memeluk Islam dan hijrah ke Habsyi. Ketika suaminya meninggal -pada sebagian
riwayat dikatakan bahwa Ubaidilah murtad dari Islam dan memeluk agama Nasrani
di Etopia- setelah habis masa idahnya Rasulullah meminangnya dan menikahinya
dengan mewakilkan akad nikahnya kepada Amr bin Umayyah al Dhamry. Sementara
yang bertindak sebagai Walinya adalah Usman bin Affan, dalam riwayat lain
dikatakan walinya adalah Khalid bin Said bin Al Ash, dan yang membiayai
maskawinnya adalah Raja Najasyi sebanyak empat ribu dirham,[3] sebab
itu sering dikatakan bahwa yang menikahkannya adalah Raja Najasyi.
Dalam
Riwayat lain bahkan disebutkan kasus kedua belah pihak mewakilkan, yaitu pihak
calon laki-laki dan pihak wali dari calon perempuan.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ أَتَرْضَى أَنْ أُزَوِّجَكَ فُلَانَةَ قَالَ نَعَمْ
وَقَالَ لِلْمَرْأَةِ أَتَرْضَيْنَ أَنْ أُزَوِّجَكِ فُلَانًا قَالَتْ نَعَمْ
فَزَوَّجَ أَحَدَهُمَا صَاحِبَهُ فَدَخَلَ بِهَا الرَّجُلُ وَلَمْ يَفْرِضْ لَهَا
صَدَاقًا وَلَمْ يُعْطِهَا شَيْئًا وَكَانَ مِمَّنْ شَهِدَ الْحُدَيْبِيَةَ
وَكَانَ مَنْ شَهِدَ الْحُدَيْبِيَةَ لَهُ سَهْمٌ بِخَيْبَرَ فَلَمَّا حَضَرَتْهُ
الْوَفَاةُ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
زَوَّجَنِي فُلَانَةَ وَلَمْ أَفْرِضْ لَهَا صَدَاقًا وَلَمْ أُعْطِهَا شَيْئًا
وَإِنِّي أُشْهِدُكُمْ أَنِّي أَعْطَيْتُهَا مِنْ صَدَاقِهَا سَهْمِي بِخَيْبَرَ
فَأَخَذَتْ سَهْمًا فَبَاعَتْهُ بِمِائَةِ أَلْفٍ . سنن أبي داود (6/
13)
Dari Uqbah
bin Amir sesungguhnya Nabi SAW berkata kepada seorang laki-laki, “Apakah kamu
ridha aku kawinkan dengan si Fulanah?”. Laki-laki itu menjawab, “Ya!”. Dan Nabi
bersabda kepada perempuan itu, “Apakah kamu ridha aku kawinkan kamu dengan si
Fulan?”. Wanita itu berkata, “Ya!”. Maka Rasulullahpun mengawinkan keduanya.
Laki-laki itu menggauli istrinya padahal tidak menentukan maharnya dan
belum memberikan apapun kepadanya. Lelaki itu seorang dari yang ikut perang
Hudaibiyah, dan orang yang ikut Hudaibiyah diberi bagian ghanimah di Khaibar.
Ketika lelaki itu akan meninggal ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah
mengawinkan aku kepada seorang wanita dan aku belum menetapkan baginya maskawin
dan belum memberikan sesuatu apapun, dan sesungguhnya aku minta kesaksian kepada
kalian bahwa aku memberikan kepadanya bagian ku di Khaibar sebagai maskawin.
Kemudian perempuan itu mengambil maskawinnya dan menjualnya seharga seratus
ribu.
Tidak ada
penjelasan rinci tentang redaksi ijab qobul yang dilaksanakan secara perwakilan
menurut hadits Nabi. Maka para foqaha merumuskannya dalam kaidah-kaidah dan
syarat-syarat perwakilan. Seperti harus ada pihak yang mewakilkan; ada pihak
yang menerima perwakilan; ada objek atau ruang lingkup kewenangan yang
diwakilkannya; terpenuhinya keahlian kedua pihak yang mewakilkan dan yang
diwakili; dan ada bukti bahwa telah terjadinya permintaan perwakilan.[4]
Sebagai
contoh, jika seorang wali mewakilkan perwaliannya kepada seseorang yang
terpenuhi syarat keahlian menjadi wali, kemudian ia menunaikan tugasnya dengan
mengatakan, “Saya mewakili Fulan menjadi wali bagi Fulanah, maka dengan ini
saya kawinkan Fulanah binti Fulan dengan Fulan bin Fulan dengan maskawin sekian
dan diserahkan tunai”. Kemudian calon pengantin meminta diwakili oleh seseorang
yang memenuhi persyaratan keahlian (yaitu ia muslim, baligh, berakal sehat,
adil, dan amanah), dan ia menunaikan tugasnya sebagai wakil, kemudian ia
mengatakan dalam akad nikah itu, “Saya terima kawinnya Fulanah binti Fulan
kepada si fulan yang saya wakili” atau “Saya terima kawinnya Fulanah binti
Fulan untuk si Fulan yang saya wakili dengan maskawin yang telah disebutkan
tadi…”. Maka telah terjadi akad perkawinan melalui perwakilan dari pihak
pengantin laki-laki.
Jika
seorang wali mewakilkan perwaliannya kepada seseorang yang terpenuhi syarat
keahlian menjadi wali, kemudian ia menunaikan tugasnya dengan mengatakan, “Saya
mewakili Fulan menjadi wali bagi Fulanah, dengan ini saya kawinkan Fulanah
binti Fulan dengan Fulan bin Fulan dengan maskawin sekian dan diserahkan
tunai”. Maka perkawinan itu telah terlaksana dan dihukumkan syah.
Demikian
pula Kompilasi Hukum Islam Indonesia telah memuat aturan tentang perwakilan
dalam akad nikah. Pasal 28 mengatakan, “Akad nikah dilaksanakan sendiri
secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan
kepada orang lain”. Kemudian pada Pasal 29 dikatakan, “ (1) Yang berhak
mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. (2) Dalam hal-hal
tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan
calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan
wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. (3) Dalam hal calon
mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akad
nikah tidak boleh dilangsungkan.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas dapatlah diambil kesimpulan sementara bahwa akad perkawinan
yang dilaksanakan secara perwakilan baik dari pihak wali pengantin wanita,
pihak pengantin pria, maupun kedua belah pihak adalah boleh dan sah selama
terpenuhi syarat-syarat akad perwakilannya.
[1] Al fiqhul Islami wa adillatuhu IX/6513
[2] UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan,Pasal.1
[3] Shahih Sunan Abu dawud, V:107; Aunul
Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud, VI: 137; Musnad Ahmad, IX : 2656;
Mustadrak ala Shahihain, XVI: 9; Tahdzibul Kamal, I : 204 ; Tsiqt Ibnu
Hiban, II : 23 ; Sunan Nasai, XI : 4. Nailul Authar, XI : 84
[4] Perhatikan lebih lanjut Al Fiqhul Islamy
wa Adillatuhu, IX : 6726 - 6731
Sumber : persis.or.id
Post a Comment
Post a Comment