وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: «جَاءَ أَعْرَابِيٌّ
فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ»
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Anas bin Malik RA ia berkata, ‘Seorang Arab Badui datang, lalu kencing di sudut masjid, maka orang-orang membentaknya, dan Nabi SAW melarang mereka. Setelah ia selesai kencing, Nabi SAW menyuruh untuk mengambil air satu timba, lalu dituangkan di tempat yang kena najis tersebut. (Muttafaq alaih) [Shahih: Al Bukhari 221, Muslim 284]
Biografi Perawi
Anas bin Malik adalah Abu Hamzah Khazraji pelayan Rasulullah SAW sejak beliau datang ke Madinah hingga wafatnya. Ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah, Anas baru berumur 10 atau 9 atau 8 tahun, dalam hal ini terdapat beberapa pendapat. Ia tinggal di Bashrah sejak masa Khilafah Umar untuk mengajar kepada umat manusia. Umurnya panjang hingga 103 tahun. Ada yang mengatakan kurang dari itu. Ibnu Abdil Barr berkata, “Pendapat yang paling shahih adalah 99 tahun.” Ia adalah shahabat yang terakhir meninggal dunia di Bashrah yaitu pada tahun 91 atau 92 atau 93 H.
Penjelasan Kalimat
‘Seorang Arab Badui datang, (dinisbatkan kepada Al Arab yaitu mereka yang tinggal di pedesaan baik orang Arab maupun non Arab. Disebutkan namanya adalah Dzul Khuwaisharah Al Yamani, bertabiat kasar) lalu kencing di sudut masjid, (yaitu sudut Ath Thaifah, adalah bagian dari sesuatu) maka orang-orang membentaknya, (yakni menghardik.
Dalam lafazh lain:
[فَقَامَ إلَيْهِ النَّاسُ لِيَقَعُوا بِهِ]
‘maka orang-orang menuju kepadanya untuk memukulnya’
[shahih: shahih Al Bukhari
5777]
Dalam lafazh lain:
فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَهْ، مَهْ،
‘maka para shahabat Rasulullah SAW berkata ‘mah..mah..’
[shahih: shahih Muslim
285]
dan Nabi SAW melarang mereka. (dengan mengatakan:
[دَعُوهُ]
biarkanlah dia.
Dalam lafazh lain:
لَا تَزْرِمُوهُ
“janganlah kalian memutuskannya.”)
[Shahih: Shahih Al Bukhari 5679, Muslim
285]
Setelah ia selesai kencing, Nabi SAW menyuruh
untuk mengambil air satu timba, (yaitu satu timba penuh. Pendapat lain
mengatakan yang banyak) dari air (sebagai bentuk
penegasan, jika bukan sebagai penegasan maka telah ditunjukkan oleh lafazh
(الذَّنُوبِ) (satu timba air) sama dengan (كَتَبْت بِيَدَيَّ) (saya menulis dengan tanganku). Dalam satu
riwayat (سَجْلًا), artinya satu timba) lalu
dituangkan di tempat yang kena najis tersebut.
Tafsir Hadits
Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan najisnya air kencing manusia, dan ini merupakan ijma ulama. Juga menunjukkan bahwa bumi itu dapat disucikan dengan air sebagaimana najis-najis lainnya. Lalu, apakah najis bisa disucikan dengan selain air? Ada yang berpendapat bahwa dapat disucikan oleh matahari dan angin, karena pengaruh keduanya dalam menghilangkan najis lebih besar daripada air, dan berdasarkan hadits:
[زَكَاةُ الْأَرْضِ يُبْسُهَا]
“sucinya bumi itu ketika telah kering.”
[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushanaf 624,
merupakan perkataan Abu Ja’far –ebook editor]
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi Syaibah. Dapat dijawab bahwa ia menyebutkannya secara mauquf bukan sabda Rasulullah SAW. sebagaimana Abdurrazzaq menyebutkan hadits Abu Qilabah mauquf atasnya dengan lafazh:
جُفُوفُ الْأَرْضِ طَهُورُهَا
“Keringnya bumi itu –menunjukkan- sucinya tempat tersebut.”
[HR. Abdurrazaq dalam Al Mushanaf 5143,
merupakan perkataan Abu Qilabah –ebook editor]
Maka keduanya tidak dapat dijadikan hujjah.
Hadits tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa dengan menuangkan air dapat menyucikan tanah, baik tanah yang lunak maupun keras. Ada yang mengatakan bahwa harus mencuci tanah yang keras sebagaimana benda-benda lainnya yang terkena najis, karena tanah Masjid Rasulullah SAW ketika itu lunak maka cukup dengan menuangkan air di atasnya. Hadits tersebut juga menjelaskan bahwa sucinya tanah tidak hanya dengan meresapnya air, karena beliau SAW tidak mensyaratkan sesuatu atas kencing seorang Arab Badui, pendapat ini yang dipilih oleh Al Mahdi dalam Al Bahr. Dan bahwa tidak diisyaratkan menggali dan membuang tanahnya.
Abu Hanifah berkata, “jika tanahnya keras, maka harus digali dan dibuang tanahnya, karena air tidak mengenai semua bagian atas dan bagian bawahnya. Juga karena diriwayatkan dalam sebagian jalan hadits ini, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
«خُذُوا مَا بَالَ عَلَيْهِ مِنْ التُّرَابِ وَأَلْقُوهُ وَأَهْرِيقُوا عَلَى مَكَانِهِ مَاءً»
“Ambillah tanah yang telah terkena air kencing lalu buanglah, dan tuangkanlah air di atas tempatnya.”
[Shahih: Shahih Abu Daud
381]
Penulis rahimahullah berkata dalam At Talkhis, “Hadits ini memiliki dua sanad yang maushul (bersambung); yang pertama dari Ibnu Mas'ud dan yang lainnya dari Watsilah bin Al Asqa, tetapi pada keduanya terdapat pembicaraan.” Dan seandainya tambahan ini kuat, niscaya batallah pendapat orang yang mengatakan bahwa tanah Masjid Nabi SAW lunak, karena dia berkata, “tidak digali dan tidak dibuang kecuali dari tanah yang keras.”
Dalam hadits tersebut terdapat beberapa faedah:
1. Menghormati Masjid. Hal ini ditunjukkan dengan sikap Nabi SAW, bahwa ketika orang Badui tersebut selesai buang air kecil, beliau memanggilnya dan berkata kepadanya,
إنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya masjid ini tidak layak terhadap sesuatu dari kencing dan kotoran, masjid itu adalah untuk berdzikir kepada Allah SWT dan membaca Al Qur'an.”
[Shahih: Muslim
285]
Dan sikap para shahabat dengan segera melarangnya, disetujui oleh Nabi SAW. hanya saja, beliau menyuruh mereka bersikap lemah lembut, sebagaimana dalam riwayat Al Jama’ah, kecuali Muslim. Bahwa beliau bersabda kepada mereka:
«إنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ»
“Sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan dan tidak diututs untuk mempersulit.”
[Shahih: Al Bukhari
220]
Seandainya pengingkaran itu dilarang, tentu beliau akan mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tidaklah orang Badui itu datang (melakukan sesuatu) yang mana kalian wajib melarangnya.”
2. Bersikap lemah lembut dan tidak kasar terhadap orang yang bodoh.
3. Kemuliaan akhlak Rasulullah SAW dan sikap lemah lembut dalam memberikan pelajaran kepada umatnya.
4. Menjauh dari keramaian orang ketika buang hajat hanyalah bagi yang ingin buang hajat besar, bukan kencing. Karena menurut urf (kebiasaan) orang Arab, hal itu tidak wajib dan disetujui oleh syariat. Dan Rasulullah SAW perempuan buang air kecil dan menyuruh shahabat yang berada di belakang beliau untuk menutupinya.
5. Menolak kemudharatan yang lebih besar dengan memilih yang lebih ringan di antara keduanya. Seandainya kencingnya terputus (ditahan), tentu akan mendatangkan madharat bagi dirinya. Dan seandainya ia berpindah tempat yang pertama kali telah terkena najis, tentu najis itu akan mengenai badan dan pakaiannya, serta tempat-tempat lain di dalam masjid.
Sumber : Ebook Terjemah Subulus Salam kampungsunnah.org
Post a Comment
Post a Comment