وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ»
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ - وَعِنْدَ الْأَرْبَعَةِ " أَيُّمَا إهَابٍ دُبِغَ
"
Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kulit disamak, maka ia telah suci.” (HR Muslim) [Shahih: Muslim 366]
Dan menurut Imam yang empat: ‘Kulit apa saja yang disamak.’ [Shahih: Shahih Al Jami' 2711]
Penjelasan Kalimat
“Apabila kulit disamak, (yaitu kulit, atau yang belum disamak sebagaimana dalam Al Qamus dan juga dalam An Nihayah) maka ia telah suci.”
Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafazh ini. sedangkan menurut imam yang empat ‘Kulit apa saja yang disamak.’ Lanjutannya (فَقَدْ طَهُرَ) ‘maka sungguh telah suci.’
Tafsir Hadits
Hadits tersebut dikeluarkan oleh perawi yang lima, hanya saja lafazhnya berbeda-beda. Hadits tersebut diriwayatkan dengan beberapa lafazh dan disebutkan latar belakangnya bahwa Nabi SAW melewati bangkai kambing milik Maimunah maka beliau bersabda:
أَلَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِإِهَابِهَا فَإِنَّ دِبَاغَ الْأَدِيمِ طَهُورٌ
“tidakkah kalian memanfaatkan kulitnya, sesungguhnya dengan menyamak kulit berarti dapat menyucikannya.”
[Shahih: Shahih Al Jami'
3359]
Al Bukhari meriwayatkan dari hadits Saudah, ia berkata:
«مَاتَتْ لَنَا شَاةٌ فَدَبَغْنَا مِسْكَهَا ثُمَّ مَا زِلْنَا نَنْتَبِذُ فِيهِ حَتَّى صَارَ شَنًّا»
‘Kambing kami mati lalu kami menyamak kulitnya, kami tetap menjadikannya sebagai tempat minuman hingga lusuh.’
[Shahih: Al Bukhari
6686]
Hadits tersebut adalah dalil bahwa menyamak dapat menyucikan kulit bangkai setiap hewan sebagaimana ditunjukkan kalimat () (yakni kulit apa saja), dan bahwa dengan menyamaknya dapat menyucikan bagian luar kulit dan juga bagian dalamnya.
Dalam masalah ini ada tujuh pendapat:
Pertama; Dapat menyucikan setiap kulit bangkai, baik pada bagian dalam maupun luarnya dan tidak dikhususkan sesuatu pun darinya. Hal ini berdasarkan zhahirnya hadits Ibnu Abbas dan yang semakna dengannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali RA dan Ibnu Mas'ud.
kedua; Menyamak tidak dapat menyucikan sesuatu, ini adalah pendapat jumhur Al Hadawiyah dan diriwayatkan dari sekelompok shahabat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i, Ahmad dan Al Bukhari dalam Tarikhnya dan perawi yang empat, Ad Daruquthni, Al Baihaqi dan Ibnu Hibban dari Abdullah bin Ukaim, ia berkata,
«أَتَانَا كِتَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَبْلَ مَوْتِهِ أَلَّا تَنْتَفِعُوا مِنْ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلَا عَصَبٍ»
telah datang kepada kami wasiat Rasulullah SAW sebelum beliau meninggal dunia, “Bahwa janganlah kalian menggunakan sesuatu dari bangkai, baik dengan menyamak maupun dengan membalutnya.”
[Shahih: Shahih Abu Daud
4127]
Dalam riwayat Asy-Syafi'i dan Abu Daud “Satu bulan sebelum meninggalnya.” Dalam riwayat lain, ‘satu atau dua bulan’. At Tirmidzi berkata ‘hasan’ dan Ahmad berpendapat dengannya dan berkata ‘ini adalah pendapat terakhir dari dua pendapat, kemudian ia meninggalkannya.’
Mereka berkata, ‘hadits ini menasakh (menghapus) hadits Ibnu Abbas, karena menunjukkan haramnya menggunakan kulit bangkai dengan menyamak dan membalutnya.’
Pendapat tadi dapat dijawab dengan beberapa alasan:
1. bahwa hadits tersebut adalah mudhtarib pada sanadnya, karena terkadang diriwayatkan dari para penulis Rasulullah SAW, dan terkadang dari para Syaikh dari Juhainah dan terkadang pula dari orang yang membaca wasiat Nabi SAW. juga mudhtarib pada matannya, karena diriwayatkan dengan tanpa batasan dan inilah riwayat yang terbanyak, dan diriwayatkan dengan membatasi satu bulan, dua bulan, empat puluh hari ataupun tiga hari.
Kemudian juga memiliki cacat yaitu mursal, karena Abdullah bin Ukaim tidak mendengarnya dari Nabi SAW, juga dengan keterputusan sanad, karena tidak didengarkan oleh Abdurrahman bin Abu Laila dari Ibnu Ukaim. Oleh karenanya, Ahmad meninggalkan pendapat ini setelah sebanyak ia bpdp dengannya sebagaimana dikatakan oleh At Tirmidzi.
2. hadits tersebut tidak bisa untuk menasakh, karena hadits menyamak lebih shahih, sebab diriwayatkan oleh Muslim dan diriwayatkan dari beberapa jalan. Dan yang semakna dengannya ada beberapa hadits dari sekelompok shahabat.
Dari Ibnu Abbas ada dua hadits, dari Ummu Salamah ada tiga hadits, dari anas ada dua hadits, dan satu hadits dari Salamah bin Al Muhabbik, Aisyah RA, Al Mughirah, Abu Umamah serta Ibnu Mas'ud. Dan hadits yang menasakh harus terbukti diucapkan terakhir sementara tidak ada dalil bahwa hadits Ibnu Ukaim lebih terakhir. Dan riwayat yang menyebutkan satu atau dua bulan ada cacat padanya, maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menasakh, meskipun riwayat dengan membatasinya tadi shahih, namun tidak secara otomatis menunjukkan bahwa itulah yang terakhir dari keduanya.
Tidak dapat dikatakan, jika tidak terjadi nasakh maka dua hadits tadi bertentangan, yaitu hadits Ibnu Ukaim dan hadits Ibnu Abbas dan yang menyertainya. Meskipun bertentangan, maka harus ditarjih atau didiamkan, karena kami mengatakan tidak ada pertentangan kecuali jika keduanya sama. Sementara di sini tidak demikian karena hadits Ibnu Abbas shahih dan banyaknya para perawi yang menyertainya, dan hal itu tidak terdapat pada riwayat Ibnu Ukaim
3. Bahwa (الْإِهَاب) sebagaimana yang Anda ketahui dari Al Qamus dan An Nihayah adalah nama bagi kulit yang belum disamak, menurut salah satu dari dua pendapat. An Nadhr bin Syuma’il berkata, ‘Ihab adalah nama bagi yang belum disamak dan setelah disamak namanya syannun (geriba yang sudah lusuh) atau qirbah (geriba adalah tempat air atau susu yang terbuat dari kulit), dan ini yang ditegaskan oleh Al Jauhari.
Ada yang mengatakan, karena mengandung makna kedua hal tersebut, maka diriwayatkanlah dua hadits yang bertentangan yang kami kompromikan antara keduanya, bahwa dilarang menggunakan kulit yang belum disamak, dan jika telah disamak tidak dinamakan lagi ihab, maka tidak termasuk yang terlarang, dan ini pendapat yang baik
Ketiga. Dapat menyucikan kulit setiap hewan
yang dapat dimakan, sedangkan kulit hewan yang tidak bisa dimakan tidak bisa
disamak. Hal ini bertentangan dengan keumuman hadits, ‘kulit apa
saja’.
Keempat; Dapat menyucikan semua hewan kecuali babi, karena babi tidak memiliki kulit, ini adalah mazhab Abu Hanifah.
Kelima; Dapat menyucikan kecuali babi, berdasarkan firman Allah SWT: {فَإِنَّهُ رِجْسٌ} ‘Karena sesungguhnya semua itu kotor.” (QS. Al-An'am [6]: 145), kata ganti yang tersebut dalam ayat menunjukkan babi, maka dihukumi dengan najisnya semua anggota badannya, dan ajing diqiyaskan kepadanya karena sama-sama najis, ini adalah pendapat Asy-Syafi'i.
Keenam; Dapat menyucikan semuanya, akan tetapi hanya bagian luarnya dan tidak dapat menyucikan bagian dalamnya. sehingga dapat digunakan untuk benda-benda yang kering selain yang cair. Boleh shalat di atasnya dan tidak boleh shalat pada bgn dalamnya. pendapat ini diriwayatkan dari Malik, dengan memadukan antara hadits-hadits di atas, dengan demikian maka tidak terdapat pertentangan.
Ketujuh; Kulit bangkai dapat dimanfaatkan walaupun tidak disamak, baik bagian luar maupun bagian dalamnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari riwayat Ibnu Abbas
«أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَرَّ بِشَاةٍ مَيِّتَةٍ فَقَالَ: هَلَّا انْتَفَعْتُمْ بِإِهَابِهَا؟ قَالُوا: إنَّهَا مَيْتَةٌ، قَالَ: إنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا»
bahwa Rasulullah SAW melewati seekor bangkai kambing, lalu bersabda, “Tidakkah kalian memanfaatkan dengan menyamaknya?” para shahabat menjawab ,’sesungguhnya itu bangkai.’ Beliau bersabda, “Yang diharamkan adalah memakannnya.”
[Shahih: Al Bukhari 1492, Muslim
363]
Ini adalah pendapat Az Zhuri. Dan telah dijawab bahwa hadits tersebut bersifat mutlak, dan telah dibatasi oleh hadits-hadits menyamak yang telah lalu.
Sumber : Ebook Terjemah Subulus Salam kampungsunnah.org
Post a Comment
Post a Comment