Dari Laqith bin Shabirah RA, ia berkata Rasulullah SAW bersabda: “Sempurnakanlah wudhu, dan sela-selalah antara jari jemari, dan bersungguh-sungguhlah ketika beristinsyaq, kecuali bila engkau sedang berpuasa.” (HR. Imam yang empat dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
[shahih: Shahih Al Jami'
927]
Dan Abu Daud dalam satu riwayat: “apabila engkau berwudhu maka berkumur-kumurlah.”
[shahih: Abu Daud
144]
Biografi Perawi
Laqith adalah Ibnu Amir Ibnu Shabirah, julukannya Abu Razin – sebagaimana dikatakan Ibnu Abdil Barr – seorang shahabat yang sangat masyhur, termasuk penduduk Thaif.
Penjelasan Kalimat
Sempurnakanlah wudhu, ( Al
Isbagh yaitu menyempurnakan (membasuh) seluruh anggota wudhu) dan sela-selalah antara jari jemari, (yang dimaksudkan
adalah jari-jari kedua tangan dan kaki, dan telah disebutkan dengan jelas dalam
hadits Ibnu Abbas: “jika engkau berwudhu, maka sela-selalah ruas jari kedua
tangan dan kakimu.” [Shahih: Shahih Al Jami' 452],
akan disebutkan perawinya sebentar lagi) dan
bersungguh-sungguhlah ketika beristinsyaq, kecuali bila engkau sedang
berpuasa.
Dan Abu Daud dalam satu riwayat: “apabila engkau berwudhu maka berkumur-kumurlah.” Juga dikeluarkan oleh Ahmad, Asy-Syafi'i, Ibnu al Jarud, Ibnu Hibban, Al Hakim dan Al Baihaqi dan dishahihkan oleh At Tirmidzi dan Al Baghawi serta Al Qaththan.
Tafsir Hadits
Hadits tersebut menunjukkan wajibnya menyempurnakan wudhu, yaitu membasuh atau mengusap seluruh anggota wudhu. Dalam Al Qamus, lafazh ‘asbagha al wudhu’ yakni meratakan air dan menyempurnakan hak setiap anggota wudhu. Membasuh tiga kali pada anggota wudhu tidak diwajibkan, tetapi hanya sunnah. Tidak boleh lebih dari tiga kali. Maka jika ragu apakah telah mencuci anggota wudhu dua kali atau tiga kali, hendaknya dihitung membasuhnya dua kali.
Al-Juwaini berkata, “Mengerjakan wudhu hanya tiga kali dan tidak boleh melebihkannya, karena dikhawatirkan melakukan bid'ah.”
Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia mencuci kakinya tujuh kali, maka perbuatan shahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, dan hal itu dapat dipahami bahwa ia mencuci najis empat kali yang tidak dapat hilang melainkan dengan jumlah tersebut, dan juga dalil atas wajibnya menyela-nyela ruas jari.
Telah ditegaskan pula dalam hadits Ibnu Abbas sebagai telah disebutkan yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah dan Al Hakim dan dihasankan Al Bukhari.
Adapun cara meratakan air pada anggota wudhu adalah menyela-nyela bagian yang dibasuh dengan jari kelingking tangan kiri. Ini tidak terdapat dalam nash, hanya saja Al Ghazali berkata, “dilakukannya dengan tangan kiri diqiyaskan atas istinja”, dan dimulai dengan bagian bawah jari. Abu Daud dan At Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Al Mustaurid bin Syaddad:
«رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا تَوَضَّأَ يُدَلِّكُ بِخِنْصَرِهِ مَا بَيْنَ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ»
“Aku melihat Rasulullah SAW jika berwudhu beliau menggosok ruas jari-jari kakinya dengan jari kelingkingnya.”
[Shahih: At Tirmidzi
40]
Dalam lafazh lain Ibnu Majah (يُخَلِّلُ) menyela-nyela sebagai ganti dari (يُدَلِّكُ) menggosok.
Hadits tersebut menunjukkan perintah untuk bersungguh-sungguh dalam ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) bagi yang tidak berpuasa, namun tidak dianjurkannya bagi yang sedang berpuasa agar air tidak turun ke tenggorokannya yang dapat merusak puasanya. Hal itu menunjukkan bahwa mubalaghah (bersungguh-sungguh) tidak wajib, sebab seandainya wajib, nisacaya tidak diperbolehkan meninggalkannya.
Sabda beliau dalam riwayat Abu Daud, “Jika engkau berwudhu maka berkumur-kumurlah”, dijadikan dalil wajibnya berkumur-kumur. Bagi yang berpendapat bahwa berkumur-kumur tidak wajib, ia menjadikannya Sunnah dengan indikasi yang telah disebutkan dalam hadits Rifa’ah bin Rafi mengenai perintah Rasulullah SAW terhadap Arab Badui berkenaan dengan tata cara wudhu, yang shalat tidak sah tanpa dengannya. Dalam tata cara wudhu tersebut tidak disebutkan kumur-kumur dan istinsyaq.
Post a Comment
Post a Comment