Photo : sigabah.com |
KH.Endang Abdurrahman dilahirkan di Cianjur tepatnya di kampung Pasarean Desa Bojong Herang Kabupaten Cianjur pada hari Rabu 12 Juni 1912. Ayahnya bernama Ghazali, ibunya bernama Hafsah. Ust.Abdurrahman (begitu beliau disapa jama’ah Persis) merupakan putra sulung dari 11 bersaudara.
Sebenarnya tidak banyak jenjang pendidikan formal yang pernah dimasukin Endang Abdurrahman. Sewaktu kecil pendidikan dan pembinaan agamanya langsung diterima dari kedua orang tuanya, terutama ibunya yang senantiasa membimbing khususnya dalam membaca al-Quran. Sehingga pada usia tujuh tahun Endang Abdurrahman telah khatam (tamat membaca) al-Quran. Baru setelah memasuki usia 8 tahun (1919) Endang Abdurrahman melanjutkan pendidikan ke madrasah Nahdlatul Ulama al-Ianah di Cianjur.
Di Madrasah al-Ianah ini Endang Abdurrahman mendapat pembinaan dan dididik dengan berbagai disiplin ilmu, terutama dalam kemampuan bahasa Arab. Apalagi madrasah al-Ianah pada saat itu sudah memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa percakapan. Sehingga para santri diwajibkan untuk menggunakan bahasa arab sebagai bahasa sehari-hari baik didalam maupun diluar kelas. Dan bagi yang melanggar ketentuan tersebut akan mendapat sangsi hukum.
Setelah menamatkan pendidikannya selama kurang lebih tujuh tahun di al-Ianah (1919-1926), Endang Abdurrahman pergi ke Bandung untuk mengajar di Madrasah Nahdlatul Ulama al-Ianah Bandung (1928-1930) atas permintaan Hasan Wiratmana. Disamping itu pada tahun 1930 Endang Abdurrahman bersama shahabatnya Qomaruddin Saleh mengelola Majlis Pendidikan Diniyah Islam (MPDI) yang didirikan oleh Tuan Alkatiri di Gang Ence Azis No.12/10 Kebon Jati Bandung. Di lembaga MPDI ini diselenggarakan pendidikan agama bagi anak-anak pada bagi hari dan orang tua pada malam hari. Ternyata perjalanan dan pengalaman baru tersebut menciptakan kemajuan, dengan diangkatnya Endang Abdurrahman sebagai tenaga pengajar di HIS, MULO, KWEEK SCHOOL untuk mata pelajaran Bahasa Arab.
Tahun 1934, Endang Abdurrahman bergabung dengan M.Natsir dan Pendidikan Islam (Pendis) dijalan Lengkong Besar Bandung. Bersama itu pula Endang Abdurrahman mulai tertarik dengan paham yang dibawa oleh Persis yang diterimanya dari Ahmad Hassan. Bahkan pada akhirnya Endang Abdurrahman masuk pada jam’iyyah (organisasi) Persis dan menjadi murid Ahmad Hassan yang setia dan paling dekat.
Bila dicermati, ternyata Endang Abdurrahman lebih cenderung hidup dalam dunia pendidikan Islam, baik itu bergabung dalam jamiyyah Persis maupun sesudah ia bergabung. Dunia pendidikan tidak pernah ditinggalkannya.
Memperhatikan perjalanan sejarah kepemimpinan jamiyah (organisasi) Persis, dapat dikatakan bahwa KHE.Abdurrahman merupakan kepemimpinan Persis yang paling dominan. Selama kurang lebih 21 tahun, yaitu tahun 1962 sampai tahun 1983 menjabat sebagai Ketua Umum Persis, KHE.Abdurrahman telah banyak berperan bahkan mempengaruhi pandangan dan pemikiran bagi jamiyyah (organisasi) Persis dan para anggotanya. Meskipun dalam memberikan suatu penilaian terkadang sangat berlebihan, sekalipun hal tersebut merupakan sebuah kebijakan pimpinan.
Keterkaitan dan keterikatan KHE.Abdurrahman dengan Persis sudah dimulai sejak tahun 1934, saat ia dilibatkan sebagai tenaga pengajar pada lembaga Pendidikan Islam (Pendis) Persis yang waktu itu dikelola oleh M.Natsir. Kemudian pada tahun 1952 beliau dipercaya menjabat sebagai ketua bagian tabligh dan pendidikan Persis. Bahkan pada tahun 1953, yaitu pada muktamar ke-5 di Bandung, KHE.Abdurrahman terpilih sebagai Sekretaris Umum Pusat Pimpinan Persis.
Meskipun kapasitasnya saat itu sebagai sekretaris umum, namun dalam memberikan pengaruh pemikiran terhadap Persis dan pembinaan kepada para anggotanya sangat dominan. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat KHE.Abdurrahman lebih terlihat menonjolkan ke-ulamaannya dan tidak terlalu disibukkan dengan persoalan politik dalam negeri, seperti halnya M.Isa Anshary yang disamping menjabat Ketua Umum Persis, ia juga merupakan salah seorang fungsionaris dan pengurus dalam partai Masyumi.
Pasca Muktamar ke-7 di Bangil, tepatnya tahun 1962 melalui referendum KHE.Abdurrahman terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Pusat Pimpinan Persis. Hal ini terjadi karena beberapa keputusan muktamar tidak disetujui oleh mayoritas cabang-cabang Persis dan diveto oleh Majelis Ulama Persis.
Kedudukan KHE.Abdurrahman sebagai Ketua Umum dan sekaligus pemegang kebijakan umum nampak tidak hanya bertanggung jawab terhadap pembinaan jamiyyah ditingkat pusat semata, tetapi ia banyak memberikan perhatian dan terjun langsung serta membina cabang-cabang dan jamaah-jamaah yang ada. Maka hampir dipastikan setiap cabang dan jamaah mengenal langsung sosok KHE.Abdurrahman baik dalam kapasitasnya sebagai seorang mubaligh, maupun sebagai pucuk Pimpinan Persis.
Dalam Muktamar Persatuan Islam (Persis) ke-8 di Bandung tahun 1967, KHE.Abdurrahman kembali terpilih dan dipercaya kembali sebagai pucuk Pimpinan Persis. Bahkan kemudian pada tanggal 16-18 Januari 1981 melalui Muakhat, KHE.Abdurrahman kembali menduduki pucuk Pimpinan Persis. Sehingga selama tiga kali berturut-turut ia menjabat sebagai Ketua Umum Pusat Pimpinan Persis setelah berakhirnya masa kepemimpinan M.Isa Anshary.
Dilihat dari kegiatan organisasinya, pada masa kepemimpinan KHE.Abdurrahman (1962-1983), menunjukkan kecenderungan pada kegiatan-kegiatan sekitar tabligh dan pendidikan, baik dari tingkat pusat hingga ketingkat cabang. Hal tersebut menurut KH.Shiddiq Amien tidak lepas dari langkah serta kebijakan yang dilakukannya, yaitu penguatan kedalam organisasi. Oleh karena itu menurut M.Natsir, bahwa keepemimpinan KHE.Abdurrahman lebih banyak mewarnai arah perjuangan Persis dengan tabligh-tabligh dan pengembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam (pesantren), sehingga Persis sebagai organisasi massa tidak memperlihatkan langkah perjuangannya kearah politik. KHE.Abdurrahman menurut M.Natsir dalam memimpin organisasi Persis lebih berorientasi pada organisasi agama, sebab ia mengambil pola kepemimpinan ulama, bukan political leadhers.
Dalam konteks sejarah pembaruan Islam di Indonesia, kepemimpinan KHE.Abdurrahman dalam organisasi Persis lebih cenderung memperkuat peran, fungsi dan kedudukan Persis sebagai organisasi yang bertujuan mengembalikan ummat kepada al-Quran dan al-Sunnah. Perhatian Persis lebih tertuju kepada usaha menyebarkan cita-cita dan pemikirannya. Hal tersebut dilakukan melalui pendidikan model pesantren, tabligh dan penerbitan. Namun demikian, sesungguhnya keberadaan dan nilai Persis bukan terletak pada sisi organisasinya karena ia kecil apabila dilihat dari jumlah anggotanya, tetapi lebih kepada upaya penyebaran paham dan pemikiran yang dianutnya.
Disamping sebagai pucuk pimpinan organisasi, ulama, da’i (juru dakwah), KHE.Abdurrahman juga dikenal sebagai pendidik (guru). Ia menyadari bahwa betapa pentingnya aspek pendidikan dalam sebuah organisasi pergerakan. Sehingga wajar ia tidak pernah meninggalkan dunia pesantren yang dirintisnya sampai meninggal. Bahkan ketika M.Natsir menawarkan untuk menjadikannya sebagai utusan Ahli Hukum Islam dari Indonesia ke Rabithah Alam Islami, ia menolaknya dengan alasan tidak mau meninggalkan pesantren. Hal inipun sesuai dengan garis perjuangan dan pendirian para pendahulu Persis seperti M. Natsir yang berkeyakinan bahwa maju mundurnya suatu kaum atau pergerakan sangatlah bergantung kepada besar tidaknya perhatian terhadap pendidikan yang berlaku dikalangan mereka.
Bagi KHE.Abdurrahman, dunia pendidikan bukanlah suatu yang asing dalam kancah perjuangannya. Sebab sebelum bergabung dengan Persis, bakat sebagai seorang pendidik terlihat ketika masih muda sudah mendapat kepercayaan untuk mengelola dan mengajar di Madrasah al-Ianah Bandung (1928-1930), kemudian menjadi tenaga pengajar (guru) di Majelis Pendidikan Diniyah Islam (MPDI) dan pernah mengajar bahasa Arab di HIS Kweek School (1930-1934).
Setelah bergabung dengan jamiyyah (organisasi) Persis, KHE.Abdurrahman mulai aktif mengajar di madrasah yang diselenggarakan oleh bagian pendidikan Persis bersama dengan ustadz Hamid dan ustadz Muhammad (1935). Selain itu ia juga memberikan pelajaran agama Islam di Pendidikan Islam (Pendis) yang saat itu dipimpin oleh M.Natsir.
Pada saat Pesantren Besar yang dipimpin Ahmad Hassan pindah ke Bangil, KHE.Abdurrahman yang memimpin Pesantren Kecil-nya kemudian mengubahnya menjadi Pesantren Persis Bandung. Dan mulai saat itulah pesantren Persis berkembang kedaerah-daerah dimana organisasi Persis berada.
Seiring dengan perkembangan pesantren, KHE.Abdurrahman mulai meletakan pembaruan dalam kurikulum. Disamping mata pelajaran agama yang pokok, juga disertakan mata pelajaran umum sebagai penopang, sehingga diharapkan para alumninya tidak merasa rendah diri dalam pergaulan terutama dikota, yang lapisan soasialnya antara lain terdiri dari para intelek yang mendapat pendidikan sekolah Belanda dan sekolah umum setelah jaman kemerdekaan.
Sebagai pimpinan pesantren dan sekaligus guru, ia mempunyai tanggung jawab besar terhadap maju mundurnya pendidikan dipesantren tersebut. Oleh karena itu hampir seluruh tenaga dan waktunya dicurahkan untuk memimpin sekaligus memberikan pelajaran dipesantren. Hampir setiap hari (kecuali jum’at) mulai dari pukul 07.00 – 11.00 merupakan waktu yang digunakannya untuk memberikan pelajaran. Diantara materi yang diberikannya adalah Bahasa Arab, Tafsir, Hadits dan Ushul Fiqh.
Dalam memberikan dan menyampaikan pelajaran Bahasa Arab, KHE.Abdurrahman tidak terlalu mengorientasikan agar para santrinya mampu berkomunikasi (muhawwarah), tetapi lebih kepada upaya agar para santrinya mampu menguasai gramatika Bahasa Arab seperti halnya ilmu nahwu, sharaf, balaghah dan semisalnya, dengan tujuan bisa membuka dan menguasai kitab-kitab kuning. Sehingga kelak bisa menguasai tafsir maupun hadits.
Disamping sebagai pimpinan dan guru pesantren Persis Bandung, KHE.Abdurrahman juga diangkat menjadi dosen di Perguruan Tinggi. Sejak tahun 1959 ia diangkat sebagai dosen dan guru besar Ilmu Tafsier dan Hadits di Universitas Islam Bandung (UNISBA). Bahkan pada tahun 1967 ia juga diangkat menjadi dosen FKIP-IKIP (sekarang UPI) Bandung untuk mata kuliah PAI. Pada kenyataannya atsar (bekas) perjuangan melalui kampus dapat membuka pikiran dikalangan mahasiswa sehingga cahaya al-Quran dan al-Sunnah mulai terlihat.
Sumber : persisjakarta.com
mantaaap ...
ReplyDeleteDerkan Ustadz
Delete