Gambar : dara.co.id |
"Ia murid paling cendekia
yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang
pengadilan dan menanggung petaka akibat tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15
tahun karena menolak doktrin resmi Mu'tazilah merupakan saksi hidup watak agung
dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa."
Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi'i, yang tak lain adalah guru Imam
Hanbali. Menurut Syafi'i, perjuangan mempertahankan keyakinan yang tak sesuai
dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara hidup dan mati. Dan
Imam Hanbali membuktikan hal itu.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan
perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah
melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam
Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka
seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits
standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran
Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga
mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya,
Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab
karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan
kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan.
Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang
berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa
yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat
dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang
berulang.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh
kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih
mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali
dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia
16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama
Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti
Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain
Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim,
dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits,
tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat
menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar
ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu
lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang
menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah
usia 40 tahun.
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra
bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan
dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah
untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama
Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain,
Muhammad, dan Said.
Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim
bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan
kezuhudan Imam Hanbali. ''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun
sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga
Shubuh tiba,'' katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih,
berkata, ''Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang
sebanyak empat dirham sambil berkata, 'Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari
ini dan semuanya kuberikan kepadamu.'''
Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran
Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah
yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama
berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu'tazilah adalah paham
Al-Qur'an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak
pandangan itu.
Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun
dipenjara dan disiksa oleh Mu'tasim, putra Al Ma'mun. Setiap hari ia didera dan
dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya,
Mu'tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat
itu. Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya
makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara.
Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil,
sang pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin
terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para
ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari,
Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur'ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam
Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi'i, Hanafi dan Maliki, oleh para
muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah
(praktik) ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab
tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian khusus pada masalah ritual
keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah.
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan
pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama,
nash (Al-Qur'an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa
dengan Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua,
fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.
Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang
dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata
pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, maka
ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan
kedua-duanya.
Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan
nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan 'maudu', atau
hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan kelima
adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari
keempat sumber di atas.
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6
H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11
dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H).
Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian
pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab
tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan
keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir
Al-Qur'an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur'an, At Tarikh, Taat ar Rasul,
dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal.
Sumber: kotasantri.com
Nasab dan Kelahirannya
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin
Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin
Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab
beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang
berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota
Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau
dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling
masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika
beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah
Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah,
kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya
ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya
adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti
Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan
membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah
rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang
sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini,
keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan
miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu
yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu,
kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan
manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan
beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para
sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di
al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan.
Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah
goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak
lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama
dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang
aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi
Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai
adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan
mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama
yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan
Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16
tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh
hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya,
Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat
tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari
Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke
Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol
yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan
selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan
faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan
terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits.
Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin
‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid
bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan
Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah.
Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah
menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya
itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga.
Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada
beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah
menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat
tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku
masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau:
menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat
kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di
sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak
ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau,
Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan
lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka
waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180
saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang
tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam
dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga
menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud,
kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah
dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara
‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah,
satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan ‘Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari
akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di
Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya
datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh
saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i
mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad
menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau
lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang
engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah
atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini
menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan
ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu
tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan
lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti
Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari
ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?”
Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah,
dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau,
“Telah disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku
tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang
lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di
sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau,
tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui
bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai
salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari
ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para
nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan
dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan
khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan
penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia
sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang
Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan
mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku
falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari
penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke
dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat
menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah,
Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa,
terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad,
mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan
pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat
Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah,
pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya
ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak
tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang
pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad
bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita
kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk.
Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan
aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”.
Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin,
kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka,
tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke
tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran,
al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian
tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan
dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik
yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik
di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi
perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari
mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam
Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu
kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad
dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya
digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam
perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke
Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian
al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya,
al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat
kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun
melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan
dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang
kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang
tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri
lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28
bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur
dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat
beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah
kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan
menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau.
Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung
yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah
dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya
telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai
al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan
ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan
kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras.
Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya,
Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar
mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih
lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua
tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih
dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia
mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang
kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam
hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan
hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun
bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas
keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar
doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin
al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar
sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka
berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan
orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal
12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang
telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak
sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang.
Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang,
bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya.
Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu
demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah
berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan
antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad.
Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh
orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu
justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan
keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab
Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam
membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah
telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang
ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang
banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada
Yaumul Mihnah”.
Sumber:
muslim.or.id
Post a Comment
Post a Comment