١- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فِي الْبَحْرِ هُوَ
الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ» أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ، وَابْنُ
أَبِي شَيْبَةَ، وَاللَّفْظُ لَهُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ
وَالتِّرْمِذِيُّ، [وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ]
1. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda tentang laut, ”Airnya suci dan bangkainya halal.’
(Dikeluarkan oleh Imam yang empat dan Ibnu Abu Syaibah, lafazh tersebut
miliknya, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan At Tirmidzi)
[Shahih: Shahihul
Jami’ 7048]
Biografi Perawi
Abu Hurairah RA adalah Abdurrahman
bin Shakhr, menurut pendapat Muhammad bin Ishaq dan Al Hakim Abu Ahmad. Ia
meninggal dunia di Madinah pada tahun 59 H, dalam usia 78 tahun dan dimakamkan
di Baqi, menurut salah satu pendapat.
Penjelasan Kalimat
Rasulullah SAW bersabda tentang laut
(maksudnya: mengenai hukumnya) airnya suci (Ath-Thahur adalah
nama bagi yang dapat digunakan bersuci, atau suci dan dapat mensucikan,
sebagaimana dalam Al Qamus. Sedang menurut istilah Syara’, yaitu nama bagi yang
dapat menyucikan) halal bangkainya.
Dikeluarkan oleh imam yang empat dan
Ibnu Abi Syaibah (yaitu Abu Bakar. Mengenai dirinya, Adz Dzahabi berkata:
‘Seorang hafizh yang tidak ada tandingannya dan terbukti kecerdikannya adalah
Abdullah bin Muhammad bin Abu Syaibah. Penulis Al Musnad, Mushannaf dan yang
lainnya, termasuk Syaikh (guru) Al Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dishahihkan pula oleh Ibnu Khuzaimah.
Adz Dzahabi berkata: “Hafizh besar, imam para imam, Syaikh Islam Abu Bakar
Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, dialah imam yang paling tinggi dan paling
banyak hafalannya pada masanya di Khurasan. Dan juga dishahihkan oleh At
Tirmidzi, setelah menyebutkannya ia berkata: “Hadits ini hasan shahih, dan saya
telah menanyakan kepada Muhammad bin Isma’il Al Bukhari tentang hadits ini maka
ia berkata, “hadits shahih.” Ini ucapan At Tirmidzi sebagai dalam Mukhtashar As
Sunan karya Al Hafidz Al Mundziri.
Penulis telah menyebutkan hadits ini
dalam At-Talkhis dari sembilan orang shahabat, tetapi tidak ada satu
jalan pun yang lepas dari komentar para ulama, tetapi ulama yang saya dengar
telah menetapkan keshahihannya. Dan dishahihkan oleh Ibnu Abdil Barr, Ibnu
Mandah, Ibnul Mundzir dan Abu Muhammad Al Baghawi.
Penulis berkata, “Sejumlah hadits
yang tidak sampai pada derajat hadits ini dan tidak mendekatinya telah dihukumi
shahih.”
Tafsir Hadits
Az Zarqani berkata dalam Syarh Al
Muwaththa, “Hadits ini adalah salah satu dasar dari pokok-pokok Islam,
telah diterima oleh umat, sangat populer di kalangan ulama fikih di semua
negeri, pada setiap masa, dan diriwayatkan oleh para imam besar.” Kemudian ia
menyebutkan orang yang meriwayatkan dan menshahihkannya.
Hadits tersebut adalah jawaban dari
sebuah pertanyaan, sebagaimana dalam Al Muwaththa’ bahwa Abu Hurairah RA
berkata, “Seorang laki-laki datang – dalam Musnad Ahmad dari Bani Mudlaj, dan
menurut At Thabrani namanya Abdullah – kepada Rasulullah SAW lalu bertanya: ‘Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kami biasa berlayar di laut dan kami membawa air hanya
sedikit, jika kami menggunakannya berwudhu maka kami akan kehausan, bolehkan
kami berwudhu dengannya? –dalam lafazh Abu Daud –dengan air laut-? Maka
Rasulullah SAW menjawab: ‘Ia (air laut) itu suci.” Beliau SAW
menerangkan bahwa air laut itu suci dan dapat menyucikan, tidak keluar dari
kesucian itu dengan kondisi bagaimana pun, melainkan apa yang diterangkan yaitu
jika salah satu dari sifatnya telah berubah. Rasulullah SAW tidak menjawabnya
dengan ‘Ya’. Meskipun hal itu sudah dipahami maksudnya, tetapi beliau
menjawabnya dengan ucapan tersebut agar hukum tersebut berkumpul dengan illat
(sebab)nya, yaitu kesucian yang terbatas dalam babnya.
Contohnya, ketika melihat air laut
berbeda dengan air biasa dengan rasanya yang asin dan baunya yang busuk, ia
bimbang kalau-kalau air tersebut tidak dimaksudkan oleh firman Allah SWT:
{فَاغْسِلُوا}
“Maka basuhlah.....” (QS.
Al-Maidah [5]: 6)
Maksudnya dengan air yang sudah
jelas yang Allah kehendaki dalam firman-Nya pada ayat sebelumnya.
Atau ketika ia telah mengetahui
firman Allah SWT:
{وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
طَهُورًا}
“Dan Kami turunkan dari langit air
yang amat bersih.” (QS. Al Furqan [25]: 48)
Ia menyangka hal itu berlaku khusus,
maka ia pun menanyakannya. Lalu Nabi SAW menerangkan hukum air tersebut
kepadanya, dan beliau menambahkan hukum yang tidak ditanyakannya bahwa
bangkainya halal.
Ar-Rafi’i berkata: “Ketika
Rasulullah SAW mengetahui bahwa hal itu samar bagi si penanya mengenai air
laut, beliau khawatir kalau ia juga ragu mengenai bangkainya, sementara ia
sering berlayar di laut, maka beliau melanjutkan jawabannya dari pertanyaan itu
dengan menerangkan hukum bangkainya.
Ibnu Al Arabi berkata: “Yang
demikian itu adalah hal yang dipandang baik dalam memberikan fatwa, yaitu
dengan memberikan jawaban lebih banyak dari yang di atasnya, dalam rangka
menyempurnakan faedah dan menerangkan ilmu lainnya yang tidak ditanyakan.” Dan
hal itu lebih dipertegas lagi manakala jelas adanya kebutuhan mendesak terhadap
hukum. Sebagaimana disebutkan di sini, bahwa seorang yang tidak mengetahui
kesucian air laut, tentu lebih tidak mengetahui kehalalan bangkainya, meski hal
itu lebih utama.
Yang dimaksud dengan bangkai air
laut adalah binatang laut yang mati di dalamnya. Yakni binatang yang hanya bisa
hidup di laut, tidak berarti setiap binatang yang mati di dalamnya secara
mutlak. Karena meskipun secara bahasa memang benar bangkai laut, akan tetapi
sudah maklum bahwa yang dimaksud adalah yang telah kami sebutkan. Zhahirnya,
bahwa halal setiap yang mati di dalamnya, walaupun seperti anjing dan babi.
Komentar mengenai halt sebelum akan disebutkan pada babnya. Insya Allah.
Sumber : Ebook kampungsunnah.org
Post a Comment
Post a Comment