KAJIAN BULUGHUL MARAAM
KITAB SHALAT | BAB
MASJID
BALE PA OOM
Rabu, 2 Maret 2022
Pemateri : Zeni Nasrul
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَا أَمَرْت بِتَشْيِيدِ
الْمَسَاجِدِ» أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ.
Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Aku
tidak diperintahkan untuk memegahkan masjid-masjid.” (HR. Abu Daud dan Ibnu
Hibban menshahihkannya)
[Shahih: Abu Daud 448]
Tafsir Hadits
Kelanjutan hadits tersebut ialah apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas,
لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتْهَا الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
"Kalian pasti akan menghiasnya sebagaimana orang-orang Yahudi dan
Nasrani lakukan."
Ungkapan ini berasal dari ucapan Ibnu Abbas, seakan-akan ia memahami bahwa
umat ini akan mengikuti perilaku orang-orang Bani Israel.
Di dalam As-Syarh diterangkan, makna tasyyiid atau
memegahkan ialah meninggikan bangunannya dan memperindahnya dengan syiid yaitu
kapur. Sedangkan di dalam al-Qaamuus diterangkan, arti syaada ialah
memolesnya atau mengecatnya dengan kapur dan sejenisnya, sesuai dengan
keterangan ini, meninggikan bangunan bukan termasuk makna tasyyiid.
Hadits ini dengan jelas menunjukkan kepada hukum makruh dan haram,
berdasarkan ungkapan Ibnu Abbas, "Sebagaimana orang-orang Yahudi dan
Nasrani memegahkannya" Karena menyerupai mereka adalah haram.
Hal ini mengisyaratkan bahwa sesungguhnya masjid tidak dibangun, kecuali
untuk melindungi diri dari panas dan dingin, sedangkan hiasan-hiasan padanya
hanya akan menyibukkan hati dari ketaatan, menghilangkan kekhusyuan yang
merupakan inti shalat.
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa menghiasi mihrab diperbolehkan
adalah pendapat yang salah.
Dalam Al-Bahr, Al-Mahdi berkata, "Proses pemberian hiasan di
Masjidil Haram dan di dalam masjid Nabawi tidak berdasarkan pada pendapat para
ulama ahlul hall wal 'aqdi tidak juga atas persetujuan mereka.
Penghiasan itu dilakukan oleh pemimpin negara yang zhalim tanpa meminta izin
kepada para ulama terlebih dahulu, kemudian kaum muslimin dan para ulama
membiarkannya dengan memendam rasa dongkol.
Ungkapan beliau, "Aku tidak diperintahkan....", mengisyaratkan
bahwa perbuatan itu tidak baik, karena jika hal itu dianggap baik tentulah hal
itu akan diperintahkan oleh Allah. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar,
أَنَّ مَسْجِدَهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ عَلَى
عَهْدِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَبْنِيًّا بِاللَّبِنِ
وَسَقْفُهُ الْجَرِيدُ وَعُمُدُهُ خَشَبُ النَّخْلِ فَلَمْ يَزِدْ أَبُو بَكْرٍ شَيْئًا وَزَادَ فِيهِ عُمَرُ وَبَنَاهُ عَلَى
بِنَائِهِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
بِاللَّبِنِ وَالْجَرِيدِ وَأَعَادَ عُمُدَهُ خَشَبًا ثُمَّ غَيَّرَهُ عُثْمَانُ
فَزَادَ فِيهِ زِيَادَةً كَبِيرَةً وَبَنَى جُدْرَانَهُ بِالْأَحْجَارِ
الْمَنْقُوشَةِ وَالْجِصِّ وَجَعَلَ عُمُدَهُ مِنْ حِجَارَةٍ مَنْقُوشَةٍ
وَسَقْفَهُ بِالسَّاجِ
"Bahwa masjid Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, saat
itu temboknya dibangun dari batubata, atapnya terbuat dari pelepah kurma dan
tiangnya dari batang-batang kurma. Kemudian pada masanya, Abu Bakar tidak
menambahkan apa-apa. Lalu Umar memperluasnya, ia membangunnya dengan model ala
bangunan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia membangunnya dengan
batubata, pelepah kurma, dengan tiang-tiang dari batang kayu, kemudian Utsman
merombaknya dengan berbagai macam tambahan, ia membangun temboknya dengan
bebatuan yang diukir dan kapur, begitu pula atapnya dari kayu jenis terbaik.”
[Al Bukhari 446]
Ibnu Bathaal berkata, "Hal ini menunjukkan bahwa selayaknya
bangunan masjid adalah bangunan yang sederhana tidak berlebih-lebihan dalam
menghiasnya."
Lihatlah khalifah Umar, biarpun ia berhasil membuka wilayah yang luas
dan menguasai harta benda yang banyak beliau sama sekali tidak merubah bangunan
masjid pada masanya. Saat itu yang ia lakukan hanya memperbaruinya dikarenakan
pelepah-pelepah kurmanya sudah lapuk, saat membangunnya ia berkata,
"Lindungilah orang-orang dari hujan akan tetapi hindarilah warna merah
atau warna kuning karena hal itu akan mengganggu."
Kemudian di masa Utsman, walaupun harta bendanya melimpah ia hanya
memperindah tanpa bermegah-megahan, walaupun begitu banyak shahabat yang
menentangnya.
Orang pertama yang bermegah-megahan dalam masalah masjid ialah Al-Walid
bin Abdul Malik, pada akhir masa shahabat. Kemudian para ulama mendiamkannya
untuk menghindari fitnah.
sumber : Kitab Subul as-Salaam
Post a Comment
Post a Comment