MENGAMALKAN HADIS DA'IF - TRIK1804 --> -->

MENGAMALKAN HADIS DA'IF

Post a Comment

 

Oleh : KH. Wawan Sofwan

Para ara ulama berbeda pendapat tentang beramal dengan hadis da'if. Mereka terbagi ke dalam tiga kelompok.

Kelompok pertama berpendapat :

Hadis da'if tidak dapat diamalkan, termasuk untuk at-targib (dorongan untuk berbuat baik) dan fadailul amal (keutamaan amal). Tentang pendapat ini diceritakan oleh Ibnu Sayyidinas dari Yahya bin Ma'in, dan kemudian menjadi pegangan Abu Bakar Ibnul-Arabi. Imam Al-Bukhari dan Muslim adalah dua mukharrij besar, kedua-duanya sangat berpegang pada pendapat ini. Demikian pula Ibnu Hazm. (Usulul Hadis, hal: 351).

Al-Imam Muslim dalam mukadimah sahih-nya telah menetapkan bab tidak boleh meriwayatkan hadis da'if. Adapun Al-Imam Ibnu Hazm mengatakan, "Sesuatu (khabar) ditukil oleh penduduk timur dan barat, oleh banyak rawi dari banyak rawi, tercela, apakah dan oleh yang siqat dari yang siqat, kemudian sampai kepada Nabi saw. Tetapi terbukti pada sanad-nya ada rawi yang tercela karena dusta, lalai, atau karena majhul hal. maka inilah hadis hadis yang oleh sebagian orang muslimin dinyatakan, 'Menurut kami tidak halal berpendapat dengan berdasarkan hadis seperti itu, demikian pula mengakuinya pun tidak halal'. Tegasnya, tidak boleh berpendapat apa pun dengan mendasarkan hadis-hadis yang da'if. (Al-Milal wan-Nihl, II: 83).

Dr. Muhammad Ajjaj Al-Khitab mengatakan, "Tidak ragu lagi, keyakinan inilah yang paling selamat. Kita telah mempunyai fadailul amal, at-targib dan at-tarhib (mencegah berbuat jahat) yang sahih, sampai bilangan yang tidak akan terhingga untuk dijelaskan. Semua itu telah cukup bagi kami dari pada mengamalkan riwayat riawayat yang da'if, terutama bahwa sesungguhnya fadailul amal dan makarimul akhlaq (memuliakan akhlaq) adalah termasuk penyangga penyangga. Hal itu tidak berbeda dengan hukum-hukum yang harus subut/valid, dari Nabi saw., apakah termasuk kategori sahih ataukah hasan. Apabila sesuatu dijadikan sebagai sumber, wajiblah khabar-khabar-nya itu maqbulah (diterima). (Ulumul Hadis, hal: 352).

Kelompok kedua berpendapat :

Hadis da'if diamalkan secara mutlak (tidak terbatas). Pendapat ini disandarkan kepada perkataan Abu Daud dan Ahmad bin Hanbal. Kedua-duanya menyatakan bahwa hadis da'if lebih baik dari pada qiyas dan pendapat seseorang. (Tadribur-Rawi, hal: 196).

Abu Daud mengatakan, "Hadis-hadis atau riwayat-riwayat yang ke-da'ifan-nya cukup parah pasti aku akan menerangkannya dan mengeliminasnya. Para ulama telah mengatakan boleh-boleh saja meriwayatkan hadis da'if selama disertai keterangan ke da'ifan-nya. Adapun mengenai perkataan Imam Ahmad, "Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah saw. tentang halal dan haram atau sunah-sunah dan hukum-hukum maka kami sangat keras di dalam urusan sanad-sanad, sedangkan apabila kami meriwayatkan hadis dari Nabi saw. tentang fadailul amal dan apa saja yang tidak menimbulkan atau menghilangkan hukum, maka kami tidak keras dalam urusan sanad-sanad". (Al-Kifayah, hal: 134).

Pendapat ini memerlukan penjelasan terutama mengenai perkataan Ahmad bin Hanbal yang berujar, "Hadis da'if lebih utama dari pada qiyas dan pendapat seseorang". Ungkapan ini tidak menunjukkan, bahwa beliau mengamalkan atau menyetujui hadis da'if untuk diamalkan tanpa batas, melainkan menunjukkan ketidakcenderungan atau kehati-hatian beliau dari mengamalkan qiyas dan pendapat seseorang. Karena itu, jika diamati secara cermat, sebenarnya pernyatan beliau ini tidak bertentangan dengan pendapat pertama yang menyatakan, "Hadis da'if tidak dapat diamalkan", mengingat yang dimaksud oleh beliau hadis da'if di sini ialah hadis da'if yang kelemahannya sangat ringan atau kurang sedikit dalam memenuhi syarat-syarat sahihnya sebuah hadis, sehingga jadilah derajatnya hasan lizatihi dan termasuk hadis da if yang kelemahannya dalam kategori masih dapat tertolong, apabila ditemukan mutabi' atau periwayatan lain yang dapat dijadikan syahid. Maka jadilah derajatnya hasan ligairihi. Kenyatannya beliau tidak menerima hadis-hadis da'if yang kelemahannya berat, seperti: Sanad yang di dalamnya ada rawi yang batil, munkar, gaplah (ceroboh), tertuduh dusta, dan lain-lain.

Maka kesimpulan tentang pernyatan Imam Ahmad seperti ini lebih selamat daripada kesimpulan, "Hadis da'if dapat diamalkan secara mutlaq (tidak terbatas)", karena Ahmad bin Hanbal dan Abu Daud di samping terkenal sebagai mukharij, kedua-duanya terkenal juga sebagai ahli jarah wa ta'dil yang menetapkan syarat cukup ketat untuk sebuah hadis dapat dijadikan hujah.

Selanjutnya, kami memilih kesimpulan tersebut karena pada saat itu, baik Imam Ahmad bin Hanbal maupun imam Abu Daud belum mengklasifikasikan hadis ke dalam sahih, hasan, dan da'if. Dengan demikian apa yang dikatakan da'if yang kelemahannya ringan oleh mereka adalah hasan menurut para ahli pelanjut mereka.

Maka tentu saja yang beliau maksudkan sangat keras di dalam hadis-hadis hukum adalah harus benar-benar memenuhi syarat sahih. Adapun mengenai kata-kata "kami tidak keras dalam urusan sanad", tentu saja maksudnya yang kurang sedikit dalam memenuhi syarat-syarat sahih, dan turunlah menjadi derajat hasan. Sama dengan yang dimaksud beliau, "Da'if yang dapat diamalkan".

Apabila kata-kata "Hadis-hadis da'if dapat diamalkan" diartikan secara tidak terbatas, maka hal tersebut akan mengakibatkan banyak ibadah yang sunah disangka bid'ah dan (terutama) ibadah ibadah yang bid'ah disangka sunah. Tentu saja pendapat ini akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang memalsukan sesuatu yang banyak ke dalam urusan fadalulamal dan ahklaq, tidak disandarkan kepada dalil yang makbul, berdasarkan pendapat "hadis da'if dapat diamalkan". Tegasnya Imam Ahmad dan kawan-kawan beliau yang sependirian, menolak hadis da'if untuk diamalkan.

Kelompok ketiga berpendapat :

Hadis da'if dapat diamalkan sepanjang mengenai targib danfadailil a'mal atau yang lain-lainnya itu, apabila memenuhi syarat syarat di bawah ini :

1. Ke-da'ifan-nya tidak parah. Maka tidak termasuk kepada hadis hadis da'if karena ada rawi yang tertuduh dusta atau karena fuhsy galati (kejinya kesalahan) rawi dan lain-lain seperti itu. Harus berada di bawah pokok yang ma'mul (diamalkan).

2. Pada waktu mengamalkan tidak boleh berkeyakinan, bahwa itu subut (benar-benar adanya,) melainkan harus berkeyakinan semata mata untuk ikhtiyat (kehati-hatian). (Ulumul Hadis, hal: 351).

Ketiga syarat di atas tidak menguatkan pendapat "hadis da'if dapat diamalkan" melainkan menguatkan pendapat "hadis da'if tidak dapat diamalkan", apalagi dengan melihat syarat ketiga yaitu pada waktu mengamalkannya tidak boleh berkeyakinan bahwa itu subut (benar-benar adanya), melainkan harus berkeyakinan semata mata untuk ikhtiat (kehati-hatian). Maka ibadah macam apa yang kita disunatkan untuk melaksanakannya, akan tetapi harus berkeyakinan akan tidak adanya tidak (di-syari'at-kan). Maka pendapat ini benar benar tidak dapat sebab ihtiat (kehati-hatian) dalam urusan ibadah adalah mengerjakan yang yakin dan meninggalkan yang tidak yakin.

Yang paling menenteramkan adalah pernyataan ulama yang berujar, "Kami sudah mempunyai fadailul a'mal dan at-targhib yang benar-benar dari sabda-sabda al-Mustafa saw. Amat-amat banyak sampai bilangan yang tidak terhingga untuk dijelaskan secara tuntas. Semua itu telah cukup bagi kami daripada kami harus mengamalkan hadis-hadis da'if, terutama dalam urusan fadailul amal dan makarimul akhlaq yang termasuk tiang-tiang agama". (Ulumul Hadis, hal :352).

Maka wajiblah kiranya kita berterima kasih dan meng-hargai segenap upaya para ulama yang telah mengklasifikasikan hadis kepada sahih, hasan, dan da'if.

Sumber : Shalat-shalat Bid,ah (Tela'ah Kritis Atas Hadis-Hadis)

Admin
Saya Zeni Nasrul, lahir di Bandung 05 Mei 1986. Puisi adalah bacaan yang menarik bagi saya, karena puisi dapat menghantarkan dari imaginasi yang tinggi untuk menyampaikan apapun yang terjadi dan terlihat di ukir dengan rangkaian kata yang dalam, sehingga dapat membawa pembacanya kedalam lubuk hati yang terdalam.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter