Oleh : KH. Wawan Sofwan
Para ara ulama berbeda pendapat tentang beramal dengan hadis
da'if. Mereka terbagi ke dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama berpendapat :
Hadis da'if tidak dapat diamalkan, termasuk untuk at-targib
(dorongan untuk berbuat baik) dan fadailul amal (keutamaan amal). Tentang
pendapat ini diceritakan oleh Ibnu Sayyidinas dari Yahya bin Ma'in, dan
kemudian menjadi pegangan Abu Bakar Ibnul-Arabi. Imam Al-Bukhari dan Muslim
adalah dua mukharrij besar, kedua-duanya sangat berpegang pada pendapat ini.
Demikian pula Ibnu Hazm. (Usulul Hadis, hal: 351).
Al-Imam Muslim dalam mukadimah sahih-nya telah menetapkan
bab tidak boleh meriwayatkan hadis da'if. Adapun Al-Imam Ibnu Hazm mengatakan,
"Sesuatu (khabar) ditukil oleh penduduk timur dan barat, oleh banyak rawi
dari banyak rawi, tercela, apakah dan oleh yang siqat dari yang siqat, kemudian
sampai kepada Nabi saw. Tetapi terbukti pada sanad-nya ada rawi yang tercela
karena dusta, lalai, atau karena majhul hal. maka inilah hadis hadis yang oleh
sebagian orang muslimin dinyatakan, 'Menurut kami tidak halal berpendapat
dengan berdasarkan hadis seperti itu, demikian pula mengakuinya pun tidak
halal'. Tegasnya, tidak boleh berpendapat apa pun dengan mendasarkan
hadis-hadis yang da'if. (Al-Milal wan-Nihl, II: 83).
Dr. Muhammad Ajjaj Al-Khitab mengatakan, "Tidak ragu
lagi, keyakinan inilah yang paling selamat. Kita telah mempunyai fadailul amal,
at-targib dan at-tarhib (mencegah berbuat jahat) yang sahih, sampai bilangan
yang tidak akan terhingga untuk dijelaskan. Semua itu telah cukup bagi kami
dari pada mengamalkan riwayat riawayat yang da'if, terutama bahwa sesungguhnya
fadailul amal dan makarimul akhlaq (memuliakan akhlaq) adalah termasuk
penyangga penyangga. Hal itu tidak berbeda dengan hukum-hukum yang harus
subut/valid, dari Nabi saw., apakah termasuk kategori sahih ataukah hasan.
Apabila sesuatu dijadikan sebagai sumber, wajiblah khabar-khabar-nya itu
maqbulah (diterima). (Ulumul Hadis, hal: 352).
Kelompok kedua berpendapat :
Hadis da'if diamalkan secara mutlak (tidak terbatas).
Pendapat ini disandarkan kepada perkataan Abu Daud dan Ahmad bin Hanbal.
Kedua-duanya menyatakan bahwa hadis da'if lebih baik dari pada qiyas dan
pendapat seseorang. (Tadribur-Rawi, hal: 196).
Abu Daud mengatakan, "Hadis-hadis atau riwayat-riwayat
yang ke-da'ifan-nya cukup parah pasti aku akan menerangkannya dan
mengeliminasnya. Para ulama telah mengatakan boleh-boleh saja meriwayatkan
hadis da'if selama disertai keterangan ke da'ifan-nya. Adapun mengenai
perkataan Imam Ahmad, "Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah saw.
tentang halal dan haram atau sunah-sunah dan hukum-hukum maka kami sangat keras
di dalam urusan sanad-sanad, sedangkan apabila kami meriwayatkan hadis dari
Nabi saw. tentang fadailul amal dan apa saja yang tidak menimbulkan atau
menghilangkan hukum, maka kami tidak keras dalam urusan sanad-sanad".
(Al-Kifayah, hal: 134).
Pendapat ini memerlukan penjelasan terutama mengenai
perkataan Ahmad bin Hanbal yang berujar, "Hadis da'if lebih utama dari
pada qiyas dan pendapat seseorang". Ungkapan ini tidak menunjukkan, bahwa
beliau mengamalkan atau menyetujui hadis da'if untuk diamalkan tanpa batas,
melainkan menunjukkan ketidakcenderungan atau kehati-hatian beliau dari
mengamalkan qiyas dan pendapat seseorang. Karena itu, jika diamati secara
cermat, sebenarnya pernyatan beliau ini tidak bertentangan dengan pendapat
pertama yang menyatakan, "Hadis da'if tidak dapat diamalkan",
mengingat yang dimaksud oleh beliau hadis da'if di sini ialah hadis da'if yang
kelemahannya sangat ringan atau kurang sedikit dalam memenuhi syarat-syarat
sahihnya sebuah hadis, sehingga jadilah derajatnya hasan lizatihi dan termasuk
hadis da if yang kelemahannya dalam kategori masih dapat tertolong, apabila
ditemukan mutabi' atau periwayatan lain yang dapat dijadikan syahid. Maka
jadilah derajatnya hasan ligairihi. Kenyatannya beliau tidak menerima
hadis-hadis da'if yang kelemahannya berat, seperti: Sanad yang di dalamnya ada
rawi yang batil, munkar, gaplah (ceroboh), tertuduh dusta, dan lain-lain.
Maka kesimpulan tentang pernyatan Imam Ahmad seperti ini
lebih selamat daripada kesimpulan, "Hadis da'if dapat diamalkan secara
mutlaq (tidak terbatas)", karena Ahmad bin Hanbal dan Abu Daud di samping
terkenal sebagai mukharij, kedua-duanya terkenal juga sebagai ahli jarah wa
ta'dil yang menetapkan syarat cukup ketat untuk sebuah hadis dapat dijadikan
hujah.
Selanjutnya, kami memilih kesimpulan tersebut karena pada
saat itu, baik Imam Ahmad bin Hanbal maupun imam Abu Daud belum
mengklasifikasikan hadis ke dalam sahih, hasan, dan da'if. Dengan demikian apa
yang dikatakan da'if yang kelemahannya ringan oleh mereka adalah hasan menurut
para ahli pelanjut mereka.
Maka tentu saja yang beliau maksudkan sangat keras di dalam
hadis-hadis hukum adalah harus benar-benar memenuhi syarat sahih. Adapun
mengenai kata-kata "kami tidak keras dalam urusan sanad", tentu saja
maksudnya yang kurang sedikit dalam memenuhi syarat-syarat sahih, dan turunlah
menjadi derajat hasan. Sama dengan yang dimaksud beliau, "Da'if yang dapat
diamalkan".
Apabila kata-kata "Hadis-hadis da'if dapat
diamalkan" diartikan secara tidak terbatas, maka hal tersebut akan
mengakibatkan banyak ibadah yang sunah disangka bid'ah dan (terutama) ibadah
ibadah yang bid'ah disangka sunah. Tentu saja pendapat ini akan dimanfaatkan
oleh orang-orang yang memalsukan sesuatu yang banyak ke dalam urusan
fadalulamal dan ahklaq, tidak disandarkan kepada dalil yang makbul, berdasarkan
pendapat "hadis da'if dapat diamalkan". Tegasnya Imam Ahmad dan
kawan-kawan beliau yang sependirian, menolak hadis da'if untuk diamalkan.
Kelompok ketiga berpendapat :
Hadis da'if dapat diamalkan sepanjang mengenai targib
danfadailil a'mal atau yang lain-lainnya itu, apabila memenuhi syarat syarat di
bawah ini :
1. Ke-da'ifan-nya tidak parah. Maka tidak termasuk kepada
hadis hadis da'if karena ada rawi yang tertuduh dusta atau karena fuhsy galati
(kejinya kesalahan) rawi dan lain-lain seperti itu. Harus berada di bawah pokok
yang ma'mul (diamalkan).
2. Pada waktu mengamalkan tidak boleh berkeyakinan, bahwa
itu subut (benar-benar adanya,) melainkan harus berkeyakinan semata mata untuk
ikhtiyat (kehati-hatian). (Ulumul Hadis, hal: 351).
Ketiga syarat di atas tidak menguatkan pendapat "hadis
da'if dapat diamalkan" melainkan menguatkan pendapat "hadis da'if
tidak dapat diamalkan", apalagi dengan melihat syarat ketiga yaitu pada
waktu mengamalkannya tidak boleh berkeyakinan bahwa itu subut (benar-benar
adanya), melainkan harus berkeyakinan semata mata untuk ikhtiat
(kehati-hatian). Maka ibadah macam apa yang kita disunatkan untuk
melaksanakannya, akan tetapi harus berkeyakinan akan tidak adanya tidak
(di-syari'at-kan). Maka pendapat ini benar benar tidak dapat sebab ihtiat
(kehati-hatian) dalam urusan ibadah adalah mengerjakan yang yakin dan meninggalkan
yang tidak yakin.
Yang paling menenteramkan adalah pernyataan ulama yang
berujar, "Kami sudah mempunyai fadailul a'mal dan at-targhib yang
benar-benar dari sabda-sabda al-Mustafa saw. Amat-amat banyak sampai bilangan
yang tidak terhingga untuk dijelaskan secara tuntas. Semua itu telah cukup bagi
kami daripada kami harus mengamalkan hadis-hadis da'if, terutama dalam urusan
fadailul amal dan makarimul akhlaq yang termasuk tiang-tiang agama".
(Ulumul Hadis, hal :352).
Maka wajiblah kiranya kita berterima kasih dan meng-hargai
segenap upaya para ulama yang telah mengklasifikasikan hadis kepada sahih,
hasan, dan da'if.
Post a Comment
Post a Comment