Oleh : Ustadz Neno Triyono
Boleh jadi pada suatu kondisi Imam tetap di sebuah masjid menderita sakit, sehingga menyebabkan ia berudzur untuk shalat dengan berdiri, sang Imam hanya bisa shalat dalam keadaan duduk. Sehingga dalam kasus ini, apakah para makmum shalatnya dengan duduk atau tetap berdiri?, karena sejatinya para makmum mampu shalat dengan berdiri.
Jawaban pertama, akan saya berikan kepada Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Beliau berkata dalam kitab Sifat Shalat Nabi (hal. 77-78) :
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebelumnya pernah melakukan shalat pada saat sedang sakit, Beliau mengimami shalat (dalam posisi duduk), dan orang-orang di belakangnya shalat dengan berdiri, lalu Beliau mengisyaratkan agar mereka semuanya duduk, sehingga para sahabat pun duduk. Ketika selesai shalat, Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “sesungguhnya kalian tadi hampir-hampir melakukan kebiasaan (jelek) orang Persia dan Romawi, mereka berdiri di hadapan raja-rajanya, padahal rajanya duduk. Janganlah kalian lakukan lagi seperti itu, karena Imam itu hanyalah dijadikan untuk diikuti, jika ia ruku’, maka kalian ikut ruku’, jika ia bangkit dari ruku’, maka kalian ikut bangkit, jika ia shalat dengan duduk, kalian ikut shalat dengan duduk semuanya”.
Syaikh Al Albani menegaskan pendapatnya bahwa jika Imam shalat dengan duduk karena sakit, maka makmum di belakangnya juga shalat dengan duduk, penegasan ini dapat diperoleh dalam kitabnya Al-Ashlu (1/86-87) :
“Ketahuilah bahwa hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Imam jika shalatnya dengan duduk karena sakit, maka makmum yang shalat di belakangnya pun shalatnya dengan duduk, sekalipun mereka mampu untuk berdiri. Dalilnya adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan mengikuti duduknya Imam dalam shalat sebagai ketaatan kepada para pemimpin yang wajib sesuai Kitabullah, sebagaimana sabdanya :
ﻣﻦ ﺃﻃﺎﻋﻨﻲ؛ ﻓﻘﺪ ﺃﻃﺎﻉ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﻣﻦ ﻋﺼﺎﻧﻲ؛ ﻓﻘﺪ ﻋﺼﻰ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﻣﻦ ﺃﻃﺎﻉ ﺍﻷﻣﻴﺮ؛ ﻓﻘﺪ ﺃﻃﺎﻋﻨﻲ، ﻭﻣﻦ ﻋﺼﻰ ﺍﻷﻣﻴﺮ؛ ﻓﻘﺪ ﻋﺼﺎﻧﻲ، ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺟﻨﺔ، ﻓﺈﻥ ﺻﻠﻰ ﻗﺎﻋﺪﺍً؛ ﻓﺼﻠﻮﺍ ﻗﻌﻮﺩﺍً، ﻭﺇﺫﺍ ﻗﺎﻝ : ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻤﻦ ﺣﻤﺪﻩ؛ ﻓﻘﻮﻟﻮﺍ : ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺭﺑﻨﺎ ! ﻭﻟﻚ ﺍﻟﺤﻤﺪ . ﻓﺈﺫﺍ ﻭﺍﻓﻖ ﻗﻮﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻷﺭﺽ ﻗﻮﻝَ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ؛ ﻏﻔﺮ ﻟﻪ ﻣﺎ ﻣﻀﻰ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻪ
“Barangsiapa yang mentaatiku, maka sungguh ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang mentaati Amirnya, maka ia telah mentaatiku dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Amirnya, berarti ia telah bermaksiat kepadaku. Sesungguhnya Imam itu dijadikan sebagai perisai, jika ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk, jika mereka mengucapkan “Sami’allahu liman Hamidah”, maka kalian mengucapkan : “Allahumma Robbanaa, wa lakal hamdu”. Jika ucapan penduduk bumi ini bertepatan dengan ucapannya penduduk langit, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu”.
Diriwayatkan oleh Ath-Thayalisiy (336) dari jalan Ath-Thhawiy (1/235), Abu Awaanah (2/109), Ahmad (2/386-387, 416 dan 417) dan ini lafazhnya dari jalan Ya’laa bin ‘Athaa’ ia berkata, aku mendengar Abu Alqamah berkata, aku mendengar Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Al-Hadits”.
Sanad ini Shahih, atas syarat Muslim, Abu Alqamah ini adalah Al-Mishriy maula Bani Haasyim, tidak dikenal kecuali dengan nama kunyahnya, beliau tsiqah, sebagaimana disebutkan dalam “At-Taqriib” -selesai-“.
Kemudian saya membandingkan penilaian beliau di atas dengan mengacu kepada kitab Musnad Imam Ahmad cetakan Ar-Risalah, maka disana (no. 10037) pentahqiq kitab ini yakni Asy-Syaikh Syu’aib Arnauth memberikan penilaian yang senada dengan mengatakan :
ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﺻﺤﻴﺢ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻁ ﻣﺴﻠﻢ، ﺭﺟﺎﻟﻪ ﺛﻘﺎﺕ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺨﻴﻦ ﻏﻴﺮ ﻳﻌﻠﻰ ﺑﻦ ﻋﻄﺎﺀ، ﻭﺃﺑﻲ ﻋﻠﻘﻤﺔ – ﻭﻫﻮ ﻣﻮﻟﻰ ﺑﻨﻲ ﻫﺎﺷﻢ – ﻓﻤﻦ ﺭﺟﺎﻝ ﻣﺴﻠﻢ .
“Sanadnya shahih atas syarat Muslim, semua perawinya tsiqah, perawi Bukhari-Muslim, kecuali Ya’laa bin ‘Athaa’ dan Abu Alqamah –maula bani Haasyim-, termasuk perawinya Muslim”.
Pendapat yang kedua saya akan sounding pendapatnya Imam Syafi’i dan ashabnya.
Pertama, Imam Syafi’I dalam al-Umm (7/209) kelihatannya memberikan alternatif solusi dengan metode fiqih ikhtiyath, dimana beliau berkata :
ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﺧْﺘَﺮْﺕ ﺃَﻥْ ﻳُﻮَﻛِّﻞَ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﺇﺫَﺍ ﻣَﺮِﺽَ ﺭَﺟُﻠًﺎ ﺻَﺤِﻴﺤًﺎ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺑِﺎﻟﻨَّﺎﺱِ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ
“Sesungguhnya aku lebih memilih bagi seorang Imam yang sakit untuk mewakilkan kepada orang lain yang sehat untuk mengimami manusia dengan berdiri”.
Namun pembahasannya bagaimana jika studi kasusnya sebagaimana judul artikel ini. Imam Syafi’i ketika ditanya apakah orang yang shalat di belakang Imam yang duduk karena sakitnya, mereka harus duduk atau berdiri, maka Al Imam menjawab :
ﻳَﺄْﻣُﺮُ ﻣَﻦْ ﻳَﻘُﻮﻡُ ﻓَﻴُﺼَﻠِّﻲ ﺑِﻬِﻢْ ﺃَﺣَﺐُّ ﺇﻟَﻲَّ، ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﻣَّﻬُﻢْ ﺟَﺎﻟِﺴًﺎ، ﻭَﺻَﻠَّﻮْﺍ ﺧَﻠْﻔَﻪُ ﻗِﻴَﺎﻣًﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺻَﻠَﺎﺗُﻬُﻢْ ﻭَﺻَﻠَﺎﺗُﻪُ ﻣُﺠْﺰِﻳَﺔً ﻋَﻨْﻬُﻢْ ﻣَﻌًﺎ
“Sang Imam menyuruh orang lain untuk mengimami lebih aku sukai. Jika sang imam mengimami dengan duduk, maka makmum di belakangnya shalat dengan berdiri, dan shalat imam dan shalat makmum sah semuanya."
Kemudian ketika Imam Syafi’I dikonfirmasi tentang hadits yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami dengan duduk dan memerintahkan makmum di belakangnya, yang tadinya berdiri untuk duduk, sebagaimana dibawakan oleh Syaikh Al Albani di atas, maka Imam Syafi’I hafal dan tahu hadits tersebut. Lalu ketika ditanya lagi, kenapa beliau tidak berpendapat dengan zhahirnya hadits tersebut, beliau menjawab :
ﻫَﺬَﺍ ﻣَﻨْﺴُﻮﺥٌ ﺑِﻔِﻌْﻞِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ –
"Itu mansukh (terhapus hukumnya) dengan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Lalu Imam Syafi’I menyebutkan nasakhnya, yakni :
ﺻَﻠَّﻰ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ – ﺑِﺎﻟﻨَّﺎﺱِ ﻓِﻲ ﻣَﺮَﺿِﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻣَﺎﺕَ ﻓِﻴﻪِ ﺟَﺎﻟِﺴًﺎ، ﻭَﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺧَﻠْﻔَﻪُ ﻗِﻴَﺎﻣًﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺄْﻣُﺮْﻫُﻢْ ﺑِﺠُﻠُﻮﺱٍ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺠْﻠِﺴُﻮﺍ » ﻭَﻟَﻮْﻟَﺎ ﺃَﻧَّﻪُ ﻣَﻨْﺴُﻮﺥٌ ﺻَﺎﺭُﻭﺍ ﺇﻟَﻰ ﺍﻟْﺠُﻠُﻮﺱِ ﺑِﻤُﺘَﻘَﺪِّﻡِ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ﺇﻳَّﺎﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟْﺠُﻠُﻮﺱِ ﻭَﻟَﻮْ ﺫَﻫَﺐَ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻟَﺄَﻣَﺮَﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟْﺠُﻠُﻮﺱِ ﻭَﻗَﺪْ ﺻَﻠَّﻰ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ ﺇﻟَﻰ ﺟَﻨْﺒِﻪِ ﺑِﺼَﻠَﺎﺗِﻪِ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﻭَﻣَﺮَﺿُﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻣَﺎﺕَ ﻓِﻴﻪِ ﺁﺧِﺮُ ﻓِﻌْﻠِﻪِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami manusia pada saat sakit yang membawa wafatnya dengan duduk, dan makmum di belakangnya shalat dengan berdiri, Beliau tidak memerintahkan mereka untuk duduk, sehingga makmum pun tidak duduk. Sekiranya (hadits tentang isyarat agar duduk-pent.) tidak mansukh (terhapus hukumnya), niscaya para sahabat yang bermakmum kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan duduk, karena telah berlalu perintah kepada mereka untuk duduk, seandainya mereka lupa, niscaya akan diperintahkan lagi kepada mereka untuk duduk. Abu Bakar melaksanakan shalat di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berdiri pada saat Rasulullah sakit, yang itu merupkan akhir dari perbuatan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Memang dalam masalah kita ini ada dua madzhab, informasi ini bisa kita dapatkan dari penyataan Imam Nawawi sebagai berikut :
ﻓِﻲ ﻣَﺬَﺍﻫِﺐِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ : ﻗَﺪْ ﺫَﻛَﺮْﻧَﺎ ﺃَﻥَّ ﻣَﺬْﻫَﺒَﻨَﺎ ﺟَﻮَﺍﺯُ ﺻَﻠَﺎﺓِ ﺍﻟْﻘَﺎﺋِﻢِ ﺧَﻠْﻒَ ﺍﻟْﻘَﺎﻋِﺪِ ﺍﻟْﻌَﺎﺟِﺰِ ﻭَﺃَﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﺗَﺠُﻮﺯُ ﺻَﻠَﺎﺗُﻬُﻢْ ﻭَﺭَﺍﺀَﻩُ ﻗُﻌُﻮﺩًﺍ ﻭَﺑِﻬَﺬَﺍ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﺜَّﻮْﺭِﻱُّ ﻭَﺃَﺑُﻮ ﺣَﻨِﻴﻔَﺔَ ﻭَﺃَﺑُﻮ ﺛَﻮْﺭٍ ﻭَﺍﻟْﺤُﻤَﻴْﺪِﻱُّ ﻭَﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟْﻤَﺎﻟِﻜِﻴَّﺔِ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺄَﻭْﺯَﺍﻋِﻲُّ ﻭﺍﺣﻤﺪ ﻭﺍﺳﺤﻖ ﻭَﺍﺑْﻦُ ﺍﻟْﻤُﻨْﺬِﺭِ ﺗَﺠُﻮﺯُ ﺻَﻠَﺎﺗُﻬُﻢْ ﻭَﺭَﺍﺀَﻩُ ﻗُﻌُﻮﺩًﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺠُﻮﺯُ ﻗِﻴَﺎﻣًﺎ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻣَﺎﻟِﻚٌ ﻓِﻲ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ ﻭَﺑَﻌْﺾُ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺗَﺼِﺢُّ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ﻭَﺭَﺍﺀَﻩُ ﻗَﺎﻋِﺪًﺍ ﻣُﻄْﻠَﻘًﺎ
“Kami telah menyebutkan bahwa madzhab kami (syafi’iyyah) membolehkan shalatnya orang yang berdiri di belakang Imam yang duduk karena sakit dan tidak boleh bagi makmum shalat di belakangnya dengan duduk (ketika mampu berdiri) ini juga adalah pendapatnya Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Al-Humaidiy dan sebagian Malikiyyah.
Adapun Auza’I, Ahmad, Ishaq, dan Ibnul Mundzir membolehkan orang yang shalat di belakangnya dengan duduk, dan tidak boleh baginya shalat dengan berdiri.
Sedangkan Imam Malik dalam sebagian riwayat sahabatnya, menshahihkan shalat di belakang Imam yang duduk secara mutlak (artinya boleh duduk atau berdiri-pent.)”
(Al-Majmu', 4/265)
Dalam kitabnya Al-Ashlu, Syaikh Al Albani menyanggah pendapat yang mengatakan bahwa masalah wajibnya makmum shalat dengan duduk, ketika Imamnya duduk, telah dihapus hukumnya (mansukh), silakan merujuknya bagi yang ingin penjelasan lebih lengkapnya.
Namun saya pribadi condong kepada pendapatnya Imam Syafi’I bahwa hal tersebut mansukh, dan naasikhnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah Radhiyallahu ‘anha dan ini lafazhnya Muslim :
ﻣُﺮُﻭﺍ ﺃَﺑَﺎ ﺑَﻜْﺮٍ ﻓَﻠْﻴُﺼَﻞِّ ﺑِﺎﻟﻨَّﺎﺱِ، ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻓَﺄَﻣَﺮُﻭﺍ ﺃَﺑَﺎ ﺑَﻜْﺮٍ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺑِﺎﻟﻨَّﺎﺱِ، ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺩَﺧَﻞَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَﺟَﺪَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻣِﻦْ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﺧِﻔَّﺔً ﻓَﻘَﺎﻡَ ﻳُﻬَﺎﺩَﻯ ﺑَﻴْﻦَ ﺭَﺟُﻠَﻴْﻦِ، ﻭَﺭِﺟْﻠَﺎﻩُ ﺗَﺨُﻄَّﺎﻥِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ، ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪَ ﺳَﻤِﻊَ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ ﺣِﺴَّﻪُ، ﺫَﻫَﺐَ ﻳَﺘَﺄَﺧَّﺮُ، ﻓَﺄَﻭْﻣَﺄَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﻗُﻢْ ﻣَﻜَﺎﻧَﻚَ، ﻓَﺠَﺎﺀَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺣَﺘَّﻰ ﺟَﻠَﺲَ ﻋَﻦْ ﻳَﺴَﺎﺭِ ﺃَﺑِﻲ ﺑَﻜْﺮٍ ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻓَﻜَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺑِﺎﻟﻨَّﺎﺱِ ﺟَﺎﻟِﺴًﺎ ﻭَﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﻳَﻘْﺘَﺪِﻱ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ ﺑِﺼَﻠَﺎﺓِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﻳَﻘْﺘَﺪِﻱ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺑِﺼَﻠَﺎﺓِ ﺃَﺑِﻲ ﺑَﻜْﺮٍ
“Perintahkan Abu Bakar untuk mengimami manusia, lalu Abu Bakar pun diperintahkan untuk mengimami manusia, ketika shalat berlangsung, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa ringan badannya, maka Beliau dipapah oleh dua orang dan kedua kakinya menempel di tanah. Ketika masuk masjid, Abu Bakar mendengar gerakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar akan mundur, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat kepadanya untuk tetap berada di tempatnya, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di situ duduk di samping kiri Abu Bakar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami manusia dengan duduk dan Abu Bakar shalat dengan berdiri bermakmum kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manusia bermakmum kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu”.
Dalam hadits ini tersurat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat, karena Beliau berada di sebelah kiri Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, kemudian dalam kisah ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan duduk, sedangkan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu yang bermakmum kepada Beliau, shalat dengan berdiri. Imam Nawawi menyebutkan bahwa dalam salah satu jalan lainnya, Imam Muslim meriwayatkan dengan tegas dan jelas bahwa ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertindak sebagai Imam :
ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺑِﺎﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ ﻳُﺴْﻤِﻌُﻬُﻢُ ﺍﻟﺘَّﻜْﺒِﻴﺮَ
"Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami manusia, sedangkan Abu Bakar meneruskan suara takbir Beliau."
Imam Nawawi menjelaskan maksud Abu Bakar meneruskan suara takbir adalah :
ﻭَﻗَﻮْﻟُﻪُ ﻳُﺴْﻤِﻌُﻬُﻢْ ﺍﻟﺘَّﻜْﺒِﻴﺮَ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳَﺮْﻓَﻊُ ﺻَﻮْﺗَﻪُ ﺑِﺎﻟﺘَّﻜْﺒِﻴﺮِ ﺇﺫَﺍ ﻛَﺒَّﺮَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻪُ ﻟِﺄَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﺿَﻌِﻴﻒَ ﺍﻟﺼَّﻮْﺕِ ﺣِﻴﻨَﺌِﺬٍ ﺑِﺴَﺒَﺐِ ﺍﻟْﻤَﺮَﺽِ
“Yakni Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu mengeraskan suara takbir, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir, hanyalah hal tersebut dilakukan karena suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat lemah, akibat sakit yang dideritanya.”
(Al-Majmu', 4/265)
Dari hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi Imam dengan duduk, namun Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu yang pada waktu itu menjadi makmum tetap shalat dengan berdiri, begitu juga makmum (para sahabat) lainnya. Seandainya shalat dengan berdiri di belakang imam yang duduk tidak diperbolehkan, niscaya mereka akan segera duduk, ketika Rasulullah Shalllallahu ‘alaihi wa sallam mengimami mereka dengan duduk, atau seandainya para sahabat ketika itu semuanya lupa dengan perintah untuk duduk, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengingatkan mereka untuk duduk.
So, dengan tidak adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar para makmum duduk atau persetujuan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat yang bermakmum dengan berdiri, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri shalatnya dengan duduk karena sakit, maka hal ini menunjukkan bahwa shalat dengan berdiri diperbolehkan di belakang Imam yang shalat dengan duduk. Terlebih lagi bahwa kejadian ini adalah beberapa hari menjelang wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ini adalah perkara akhir yang menasakh (menghapus) perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya kepada makmum untuk duduk, ketika sang imam shalat dengan duduk, mengimami mereka
–Wallahu A’lam-.
Kami tutup dengan perkataan Imam Nawawi (4/266) :
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲُّ ﻭَﺍﻟْﺄَﺻْﺤَﺎﺏُ ﻭَﻏَﻴْﺮُﻫُﻢْ ﻣِﻦْ ﻋُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤُﺤَﺪِّﺛِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻔُﻘَﻬَﺎﺀِ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﺮِّﻭَﺍﻳَﺎﺕُ ﺻَﺮِﻳﺤَﺔٌ ﻓِﻲ ﻧَﺴْﺦِ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﺍﻟﺴَّﺎﺑِﻖِ
“Syafi’I, para sahabatnya dan selain mereka dari kalangan muhaditsin dan fuqaha berkata, bahwa riwayat-riwayat yang jelas ini sebagai nasikh (penghapus) hadits sebelumnya”.
Sumber : Grup Whatsapp (Tanya Jawab Fikih 2)
Post a Comment
Post a Comment