KAJIAN RUTIN BULUGHUL
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا كَبَّرَ لِلصَّلَاةِ سَكَتَ هُنَيْهَةً، قَبْلَ أَنْ يَقْرَأَ، فَسَأَلْته، فَقَالَ: أَقُولُ: اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْت بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah RA, “Jika Rasulullah SAW telah membaca takbir, beliau diam sejenak sebelum membaca ayat Al Qur'an, kemudian aku bertanya kepadanya, maka beliau bersabda, “saya membaca, ‘Ya, Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan jarak antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah diriku dari kesalahanku sebagaimana pakaian putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, mandikanlah diriku dari kesalahanku dengan air, salju dan embun.”[Al Bukhari 744 dan Muslim 598]
Dari Abu Hurairah RA, dia berkata: Rasulullah SAW bila telah takbir untuk melaksanakan shalat, beliau diam sejenak sebelum membaca. Lalu aku bertanya kepada beliau, beliau pun menjawab, 'Aku membaca, 'Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan kesalahanku, sebagaimana baju putih yang dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, basuhlah aku dari kesalahan-kesalahan dengan air, es dan embun." (HR. Muttafaq 'Alaih) *)
Kosakata Hadits
Hunaihah. Disebutkan di dalam Al Qamus, Al Hinwu dengan kasrah pada ha'artinya waktu. Adapun Hunaihah adalah bentuk tashgir dari haniyah, maksudnya adalah diam sejenak.
Khathaayaa: Bentuk jamak dari kata khathii'ah. Asalnya khathaa'ii dengan kasrah pada hamzah setelah madd, berikutnya huruf ya' yang berharakat sebagai lam-nya kata, kemudian hamzahnya di-fathah-kan dalam bentuk jamak dan dirubah menjadi alif karena berharakat dan mem-fathah kan huruf yang sebelumnya, sehingga menjadi khathaa'aa, namun mereka tidak menyukai berpadunya dua alif yang disisipi hamzah, maka dirubah menjadi huruf ya sehingga menjadi khathaayaa.
Naqqinit. Dengan tasydid pada qaf, ini merupakan bentuk fi'il amr dari kata naqqaa-yunaqqii-tanqiyah. Ini bentuk kiasan untuk menghilangkan dosa dosa dan menghapuskan bekasnya.
Kamaa Baa'adta. Maa sebagai mashdar, perkiraannya, sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Realitanya bahwa bertemunya barat dengan timur adalah mustahil (tidak mungkin). Ini dianalogikan kedekatannya dengan dosa, seperti kedekatannya antara timur dan barat.
Al Abyadh: Dikhususkannya penyebutan pakaian berwarna putih di sini karena kotoran akan tampak jelas padanya daripada warna lainnya. Ad-Danas: Dengan fathah pada daldan nun. Artinya: noda dan kotoran.
Al Barad. Dengan fathah pada ba'dan ra'yang artinya embun. Al Khathabi mengatakan, "Disebutkannya es dan embun adalah
*)Bukhari (744), Muslim (598).
Sebagai penegasan. Maksud pencucian di sini bukanlah sebagaimana lahirnya, akan tetapi maksudnya adalah sebagal klasan kesucian yang agung dari dosa-dosa."
Syaikhul Islam mengatakan, "Pencucian dengan air panas lebih efektif untuk membersihkan, namun yang disebutkan di sini dengan es dan embun, karena relevansinya dengan panasnya dosa-dosa yang ingin dihilangkan."
Hal-Hal Penting dari Hadits
1. Disunnahkannya istiftah (membaca doa pembukaan shalat). Waktunya adalah setelah takbiratul ihram dan sebelum ta'awwudz dan bacaan Al Faatihah. Yaitu diam sejenak, dan Nabi SAW pun membacanya dengan pelan. Bacaan istiftah secara pelan, kecuali bila diperlukan untuk dibaca nyaring,
2. Misalnya untuk mengajarkan kepada orang yang shalat di belakangnya (makmumnya), sebagaimana yang dilakukan oleh Umar RA.
3. Etika ulama dalam mengajar. Orang yang belajar bertanya sementara pengajar menjawab permasalahan-permasalahan yang dibutuhkan dan senantiasa dijalankan oleh mereka, bukan dengan menyimpangsiurkan permasalahan.
4. Tentang diamnya imam, menurut para ahli fikih madzhab Hambali, ada tiga:
Pertama, sebelum membaca Al Faatihah di rakaat pertama. Kedua, setelah membaca Al Faatihah sejenak. Ini menurut madzhab Syafi'i.
Ibnul Qayyim mengatakan tentang macam yang kedua ini, "Itu dimaksudkan untuk memberi kesempatan makmum membaca (Al Faatihah), maka hendaknya di panjangkan sekadar cukupnya makmum membaca Al Faatihah."
Pendapat Imam Ahmad yang kedua, "Bahwa imam tidak diam." Ini sependapat dengan Abu Hanifah dan Malik. Dia juga memfatwakan pendapat ini, dan inilah pendapat yang dijadikan sandaran dalam kitab kitab madzhabnya.
Ketiga: Diam sejenak setelah selesai semua bacaan dan sebelum ruku, ini dimaksudkan untuk memulihkan nafasnya.
Syaikhul Islam mengatakan, "Bahwa imam yang tiga; (Yakni) Abu Hanifah, Malik dan Ahmad serta jumhur ulama tidak menganjurkan diamnya imam untuk memberi kesempatan makmum membaca (Al Faatihah), karena bacaan tersebut tidak wajib bagi mereka dan tidak pula sunnah, bahkan terlarang." Adapun diamnya imam sebagaimana yang dituturkan oleh As-Sunnah adalah:
Pertama, setelah takbir pembukaan.
Kedua, diam sejenak setelah bacaan, sekadar untuk memberi jarak bacaan, tidak cukup untuk membaca Al Faatihah.
Adapun diam yang setelah membaca waladhdhaalliin, ini termasuk kategori diam di permulaan ayat (yakni permulaan surah berikutnya), maka yang seperti itu pun disebut diam.
5. "Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat." Artinya: Yaitu sebagaimana tidak bertemunya timur dengan barat, maka seperti itulah yang diharapkan orang yang berdoa itu agar tidak berpadu dengan kesalahan-kesalahannya. Yang dimaksud dengan penjauhan ini adalah, bisa dengan menghapuskan kesalahan-kesalahan yang lalu dan tidak menghukumnya karena kesahalan-kesalahan tersebut, bisa juga dengan mencegahnya agar tidak terjerumus ke dalamnya dan menjaganya dari itu untuk selanjutnya.
6. "Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku, sebagaimana baju putih yang dibersihkan dari kotoran." Artinya: Hilangkahlah kesalahan-kesalahanku dariku dan hapuslah itu seperti pembersihan baju itu, karena dampak pembersihan itu akan lebih tampak pada pakaian yang berwarna putih daripada yang berwarna lainnya.
7. "Ya Allah, basuhlah aku dari kesalahan-kesalahan dengan air, es dan embun." Air panas lebih bisa menghilangkan noda dan kotoran daripada es dan embun, karena itu seringkali ulama terlena dengan ungkapan ini. Pendapat yang paling bagus tentang hal ini adalah sebagaimana yang dituturkanoleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta'ala, "Karena dosa-dosa itu mengandung panas dan gejolak, dan itu yang menjadi sebab panasnya adzab, maka sangat cocok untuk dicuci dengan sesuatu yang dapat mendinginkan dan menawarkan panasnya, yaitu dengan es, air dan embun."
Faidah
Ibnu Al Mulaqqin dalam Syarh Al 'Umdah mengatakan, "Dalam doa ini
Nabi SAW memohon dengan jenjang yang meningkat, yaitu: a. Yang layak dijauhkan, yaitu memohon untuk dijauhkan.
b. Kemudian meningkat dengan memohon dibersihkan.
C. Kemudian meningkat dengan memohon pembasuhan, karena yang ini lebih mendalam daripada keduanya.
Sumber : Terjemah Tadih Al-Ahkaam, Syarah Bulughul Maraam.
Post a Comment
Post a Comment