وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ
الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ - وَلِلْبُخَارِيِّ «لَا يَبُولَنَّ
أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ»
- وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ، وَلِأَبِي دَاوُد: «وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ
الْجَنَابَةِ»
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mandi dalam air yang tenang (tidak mengalir) sedang ia junub.” [Shahih: Muslim 283]
Dan bagi Al Bukhari, “Janganlah sekali-kali salah seorang kalian kencing dalam air tenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di dalamnya.” [shahih: Al Bukhari 239, Muslim 282]
Dan bagi Muslim, “Darinya”, dan bagi Abu Daud, “Dan
janganlah ia mandi junub di dalamnya.”
[shahih: shahih Al Jami 7595]
Penjelasan Kalimat
“Janganlah salah seorang kalian mandi di dalam air yang tenang (yaitu air yang diam tergenang, dan disebutkan sifatnya yaitu yang tidak mengalir) sedang ia junub (Muslim meriwayatkannya dengan lafazh ini) di dalamnya (menunjukkan bahwa janganlah ia mandi dengan menyelam di dalamnya, dan bisa juga menunjukkan bahwa janganlah ia mengambil darinya lalu mandi di luar) janganlah ia mandi (menunjukkan bahwa larangan melakukan kedua hal tersebut secara tersendiri, sebagaimana dua kemungkinan yang pertama dalam riwayat) kemudian ia mandi darinya.”
Tafsir Hadits
Abu Daud berkata dalam Asy Syarh, “Larangan ini jika pada air yang banyak menunjukkan makruh, dan jika pada air yang sedikit menunjukkan haram.” Ada yang berpendapat, bahwa berdasarkan hal tersebut dapat menjadikan penggunaan lafazh larangan tersebut secara hakiki dan majazi. Maka yang lebih baik adalah keumuman majaz dan larangan tersebut digunakan pada makna tidak melakukannya yang mengandung unsur keharaman dan kemakruhan melakukannya.
Adapun hukum air diam yang tidak mengalir, najisnya air sebab bercampur dengan air seni, atau larangan mandi junub di dalamnya, menurut mereka yang berpendapat bahwa air tidak najis melainkan jika salah satu sifatnya berubah, larangan penggunaannya itu bersifat ta’abbudi dan air tetap suci. Ini adalah pendapat Malikiyah yang membolehkan bersuci dengannya, karena larangan tersebut menurut mereka hanyalah menunjukkan makruh. Sedangkan menurut Azh Zhahiriyyah adalah haram. Meskipun larangan tersebut ta’abbudi dan bukan lantaran najis, akan tetapi pada dasarnya setiap larangan itu menunjukkan haram. Dan menurut yang membedakan antara air sedikit dengan air yang banyak, “Jika air itu banyak, maka ia dikembalikan pada asalnya dalam membatasinya, jika tidak berubah salah satu sifatnya berarti ia suci dan dalil atas kesuciannya adalah takhshish (pengkhususan) keumumannya”. Tetapi pendapat ini dapat dibantah, “Jika kalian mengatakan bahwa larangan yang menunjukkan makruh tersebut adalah pada air yang banyak, maka tidak boleh membatasinya lantaran keumuman hadits dalam bab ini, dan jika air itu sedikit maka dalam membatasinya dikembalikan kepada asalnya, maka larangan menggunakannya menunjukkan keharaman, karena ia tidak suci dan tidak menyucikan.” Ini menurut prinsip mereka bahwa larangan tersebut lantaran najis.
Disebutkan dalam Asy Syarh beberapa pendapat mengenai kencing dalam air, yaitu tidak dilarang pada air banyak yang mengalir sebagaimana yang dipahami dalam hadits ini, tetapi lebih baik dihindari. Adapun air sedikit yang mengalir, ada yang mengatakan makruh dan ada juga yang mengatakan haram. Ini yang lebih baik.
Saya katakan, “Yang lebih baik justru sebaliknya, karena hadits tersebut adalah larangan buang air kecil dalam air yang tidak mengalir, maka tidak mencakup yang mengalir sedikit atau banyak.” Tetapi seandainya dikatakan makruh akan lebih dekat. Jika airnya banyak dan tergenang, maka ada yang berpendapat makruh secara mutlak. Ada pula yang berpendapat jika ia kencing dengan sengaja hukumnya makruh, namun jika ia terpaksa dan sudah berada di dalamnya maka hukumnya tidak makruh.
Dalam Asy Syarh ia berkata, “Seandainya dikatakan bahwa hal itu menunjukkan haram, maka larangan tersebut akan lebih jelas dan lebih sesuai dengan zhahirnya, karena akan merusak yang lainnya dan mengandung mudharat bagi kaum Muslimin. Dan jika air tenang dan sedikit, maka yang benar adalah haram berdasarkan hadits tersebut.”
Kemudian, apakah hukum keharaman pada air yang sedikit juga berlaku pada selain air seni, seperti tinja? Menurut Jumhur, hal itu lebih layak untuk disamakan, dan menurut Ahmad bin Hambal, yang lain tidak menyamakan dengannya, tetapi hukum tersebut khusus bagi air seni. Sabda beliau, ‘dalam air’ sangat jelas merupakan larangan kencing di dalamnya, sehingga harus dijauhi, maka jika kencing di dalam bejana kemudian dituangkan ke dalam air tenang maka hukumnya sama. Sedang menurut Daud, tidak menajiskannya dan tidak terlarang, kecuali pada kejadian yang pertama, selainnya tidak.
Hukum berwudhu dalam air yang telah dikencingi sama seperti hukum mandi, sebab hukumnya satu. Dalam satu riwayat disebutkan:
«لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ»
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air
yang diam kemudian ia berwudhu darinya.”
[Shahih : Shahih Al Jami
7594]
Ia menyebutkan dalam Asy Syarh dan tidak dinisbatkan kepada siapapun, dikeluarkan oleh Abdurrazzaq, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan At Tirmidzi. Ia berkata hasan shahih. Dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari hadits Abu Hurairah RA secara marfu, dan dikeluarkan oleh Ath Thahawi, Ibnu Hibban dan Al Baihaqi dengan tambahan,
[أَوْ يَشْرَبُ]
‘atau minum darinya.”
[Shahih: Ta’liq Ibnu Hibban
1256]
Sumber : Ebook Terjemah Subulus Salam kampungsunnah.org
Post a Comment
Post a Comment